Cermin Kekompakan Kampung Glintung, Terpal dan Payung di Atas Panggung

Pentas Ali Gardy Ber3 di panggung Glitung Kultur jalan terus meski hujan lebat

Pentas Ali Gardy Ber3 di panggung jalan terus meski hujan lebat. Di atas panggung panitia dan warga memegangi payung dan terpal agar penampilan jalan terus.  (Foto: Kampung Glintung for BATUKITA.com)

BATUKITA, Kota Malang - Peluncuran Kampung Glintung Kultur menjadi sebuah cermin atas kekompakan warga Kampung Glintung RW 23 Kelurahan Purwantoro, Blimbing, Kota Malang. Dalam hujan lebat dan dinginnya malam, warga sukses bergiat dalam aktivitas seni budaya tradisional.

Lebih dari itu, kegiatan ini juga berhasil menggali kembali identitas kampung kuno yang telah tercatat keberadaannya sejak abad ke 9-10 Masehi.

Rangkaian launching Glintung Kultur dilaksanakan 20, 26, dan 27 April 2019. Pada  20 April 2019, telah dikupas dan dikaji berbagai puzzle sejarah Kampung Glintung.

Sejarah kampung itu dibedah berdasarkan empat kajian. Yakni penelusuran toponimi (kajian nama-nama yang masih terjejak), kajian tekstual (naskah kuno dan prasasti), kajian artefaktual (temuan-temuan artefak kuno) dan kajian ekofaktual (kajian kondisi bentang alam, detil-detil alam, apa-apa yang ada di alam kampung Glintung).

Baca: Kampung Glintung Kultur Lestarikan Karawitan dan Topeng Malang

Dalam event pentas pada 26 dan 27 April 2019, menampilkan aneka pentas seni budaya tradisional. Sebagian merupakan unjuk kebolehan hasil latihan warga sebulan terakhir. Mereka terdiri dari anak-anak, remaja, sampai orang-orang tua. Ada pula sumbangan partisipasi performance dari seniman-seniman Kota Malang. Termasuk beberapa kota/kabupaten lain (Tuban, Situbondo, Banyuwangi, Bengakayan). Ada pula beberapa musisi mancanegara dari Italia dan Canada.

Puncak acara Launching Glintung Kultur, Sabtu 27 April 2019, diwarnai hujan lebat. Sehingga even yang sedianya dimulai jam 19.30, terpaksa mundur jam 21.10 dan berakhir pukul 01.30 dini hari.

Tari Bapang menjadi pembuka di malam puncak acara. Dilanjutkan tari Remo, tari Candi Ayu, yang dimainkan oleh anak-anak dan remaja kampung Glintung.  Para anggota karawitan kampung yang didominasi kaum ibu menjadi pengiringnya.

Acara  dilanjutkan kesenian Jaranan, Jathilan, dan Kucingan yang dimainkan oleh Sanggar Glintung Kultur pimpinan Bapak Soel dan Bapak Budi. Kemudian Teater Telulikur digelar oleh kaum remaja kampung, disambung kesenian rampak oleh Sanggar Rampak Rea-Reo Crew, pimpinan Ibu Mukti, warga Glintung.

Kelompok Unen-Unen Rangel dari Tuban tampil pada jam 23.30. Mereka membawakan beberapa komposisi eksplorasi bunyi-bunyian dengan menggunakan aneka instrumen musik tradisional berbagai daerah. Antara lain suling Sumatra, rebab Jawa, karinding Sunda, sape Dayak.

Penampilan berikutnya adalah perkawinan alat musik tradisional dengan teknologi musik digital yang dibawakan oleh Ali Gardy Ber3 dari Situbondo. Lagu tradisional Sunda Es Lilin dan Man Upon The Hill (Star & Rabbit).

Lagu  dari dua kutub berbeda itu dimainkan dengan aransemen unik menggunakan suling, dawai Karmawibhangga Borobudur, dipadukan permainan sequencer dan MIDI. Ditunjang dengan efek digital pedal board untuk efek loop yang di-mix dengan aplikasi handphone coustik dan software Logic Pro di MacBook.

Instrumen dawai Karmawibhangga Borobudur adalah alat musik dawai yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga yang ada di Candi Borobudur. Pada 2016 yang lalu, Ali Gardy membuat kembali alat musik yang berasal dari abad ke-8 tersebut.

Di tengah performance Ali Gardy Ber3, hujan kembali mengguyur. Panitia dan warga kampung pun berupaya melindungi dan mengamankan berbagai alat musik digital di atas panggung dengan payung dan menggelar atap terpal. Karena tak ada tiang, di setiap pojok terpal, berdiri satu orang warga menahan terpal. Sebagian lainnya membawa payung di belakang pemain.

Meski hujan tercurah dari langit, pentas Ali Gardy Ber3 di panggung jalan terus. Dengan panggung yang dipenuhi panitia yang memegangi payung dan terpal.

Performance puncak di Launching Glintung Kultur digelar pada jam 00.45 dini hari. Berupa pentas kolaborasi musik tradisional, musik modern, tari tradisional, rampak, tari kontemporer, teater gerak, dan puisi narasi histori kampung.

Penampilan ini dimainkan oleh The Maspoh (band akustik, dari Malang), Unen-Unen Rangel (dari Tuban), Tejo (pemain harmonika dari Banyuwangi), Sanggar karawitan Seni Tradisi Glintung Kultur. Dilengkapi oleh Rampak Rea Reo Crew, Teater Celoteh, Caca Nini Mranggi (penari difable dari Jogja) dan teater anak-anak warga Kampung Glintung. Termasuk puisi narasi histori kampung oleh M Dwi Cahyono, dosen sejarah Universitas Negeri Malang.

Performance dengan durasi hampir 30 menit ini menceritakan tentang bagaimana perjalanan sejarah masyarakat kampung Glintung dalam mengenali dan menemukan jati diri kampungnya. Termasuk bagaimana menghancurkan sifat tirani dalam diri berupa ego, keserakahan, manipulasi, pikiran negatif, serta mendominasi satu dan lainnya. Semua itu dipadukan untuk menuju budaya gotong-royong, saling mengayomi, kompak, bersinergi, dan saling peduli terhadap segenap potensi warga.

Tirani di dalam diri disimbolkan dengan makhluk-makhluk zombie yang diperankan anak-anak kecil, penghancuran ego disimbolkan dengan memecah balon-balon bertuliskan "TIRANI, EGO, KESERAKAHAN". Gotong-royong dan kekompakan disimbolkan oleh penampilan kesenian rampak.

Di akhir pertunjukan , para seniman kolaborasi mengajak ratusan penonton yang hadir untuk menyanyikan bersama lagu nasional Padamu Negeri. Lagu ini sebagai simbol pengabdian pada negeri melalui pengabdian dan berkarya bagi kampungnya. (*)

Editor: Yosi Arbianto