KH M Tholchah Hasan: Istiqomah Duduk di Bawah Pilar Masjid

KH Tholchah Hasan

KH M Tholchah Hasan selalu berpesan agar para pengurus yayasan, guru, selalu memegang 4 prinsip  kerja yaitu ikhlash,. jujur, rukun dan sabar (Foto: akurat..co)

BATUKITA - Bagi orang-orang dekatnya, kisah mengenai KH M Tholchah Hasan sangat luas untuk diceritakan, sangat menarik ditulis dan dimaknai sesuai dengan konteksnya. Dengan usia 84 tahun KH M Tholchah Hasan memiliki sejarah hidup dan perjuangan yang panjang (long life and long story to tell), melebihi rata-rata usia sahabat sahabatnya.

Masa kecilnya yang susah karena ditinggal ayahnya sudah merupakan pelajaran tersendiri. Berbeda bagi kebanyakan orang yang hidup dididik dan didampingi oleh ayah dan ibunya.

Praktis, tinggal hanya beberapa orang saja senior di  kalangan Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan kepengurusan baik di cabang dan wilayah  dan kalangan pengasuh pondok pesantren yang usianya melebihi 84 tahun. Kalaupun ada tidak banyak jumlahnya dan belum tentu aktif mengajar dan membina yayasan sosial dan yayasan pendidikan.

Salah satu sahabat seperjuangan beliau di Singosari yang lebih sepuh dari beliau adalah KH Bashori Alwi, pengasuh Ponpes Pesantren Ilmu Al Qur’an (PIQ) yang sampai sekarang istiqomah mengajarkan Al Qur’an.

Beberapa kolega beliau malah dipanggil Allah lebih dahulu termasuk KH A Muchith Muzadi dan KH A. Hasyim Muzadi dan putra KH Masjkur yaitu H Syaiful Masjkur, putra satu satunya KH Masjkur yang wafat beberapa bulan sebelumnya.

Kepada KH M Bashori Alwi dan putra-putranya inilah biasanya KH M Tholchah Hasan menyampaikan beberapa hal penting terkait perjuangan dan kehidupan pribadi terutama tentang kesehatan.

Tokoh sekaliber beliau pasti menarik ditulis sisi spiritualitasnya, dari segi akademik dan sanad keilmuannya, sejarah pendidikan serta asal usulnya. Termasuk  juga mungkin joke-jokenya di beberapa kesempatan santai. Jangan lupa dalam pertemuan pertemuan ringan beliau tak segan menyindir kelakuan kita dengan joke-joke segarnya.

Orang yang panjang usia, biasanya disamping sudah takdir dari sononya panjang umur, faktor keturunan panjang usia, gaya hidup riyadhohnya, gaya hidup dan spiritualitas mempengaruhi panjang pendeknya usia. Kabetulan putri dan menantu beliau dr Fathin dan dr Hardadi Airlangga adalah dokter yang setiap saat memantau perkembangan kesehatan sehingga bisa mengontrol kesehatannya.

Disamping punya jalur khusus ke Rumah Sakit Islam Unisma dan Rumah Sakit Saiful Anwar Malang dimana beberapa dokter kenal baik dengan beliau, rumah tempat tinggal beliau terhubung langsung dengan Rumah Sakit Muslimat yang dipimpin oleh putri beliau.

Salah satu sisi lain yang menarik tentang KH M Tholchah Hasan ialah keistiqomahan beliau  atas beberapa hal. Istiqamah adalah laku lampah kebaikan yang konsisten dilakukan oleh ulama manapun. Istiqamah itu tetap lurus tanpa belak belok, konsisten dalam segala situasi, memegang kebaikan, tahan diterpa godaan dan cobaan. Demikian pula dalam memilih waktu dan tempat, beliau istiqamah dalam memilih tempat beribadah, khususnya dalam melaksanakan shalat Jum’at.

Bagi keluarga dan putra-putrinya di Singosari dan orang-orang dekatnya, sudah mafhum dan tidak asing lagi bahwa selama 10 tahun terakhir ini, KH M Tholchah Hasan lebih sering memilih masjid Sabilillah Jl. A. Yani Kota Malang -yang berjarak kurang lebih 7 kilometer dari rumah beliau di Singosari- dibanding shalat Jum’at di puluhan masjid besar lainnya di sekitar Singosari dan Malang Raya.

Tidak itu saja, beliau juga sering memilih masjid Sabilillah secara istiqamah ini sebagai tempat bertahajjud, shalat malam di sepertiga malam di minggu minggu terakhir di setiap bulan Ramadhan. Kecuali tahun 1440 Hijriyah ini, beliau absen shalat malam Ramadhan akhir karena kesehatan beliau tidak memungkinkan untuk qiyamullail dari mulai jam 24.00 an malam sampai subuh di luar rumah.

Masjid Sabilillah cukup luas lantai dasarnya. Masjid ini dibangun dengan berlantai dua di sisi kanan kiri dan belakangnya. Agak unik, beliau memilih tempat duduk yang tetap yaitu di sisi kiri dari imam masjid, tepatnya di pilar depan paling kiri dari 8 pilar yang dimiliki masjid besar percontohan paripurna nasional ini.

Karena rata-rata yang menjadi khatib shalat Jum’at di Sabilillah usianya lebih muda dari beliau, dan dengan mengetahui bahwa Kyai Tholchah adalah salah satu pendiri masjid dengan luas 8000-an meter ini, maka hampir dipastikan, selepas turun mimbar, khatib Jum’at lalu mendekat ke tempat duduk beliau di pilar kiri depan sambil  memohon doa dan menyampaikan takdzim beliau.

Biasanya beliau memberi motivasi agar khutbah-khutbahnya itu pendek saja dengan bahasa yang jelas. Jangan sampai memaki-maki dan beliau sering berpesan kepada para khotib untuk mengumpulkan naskah khutbahnya, ditulis secara tematik menjadi buku.

Di tempat favorit inilah biasanya beliau menerima pisowanan atau kunjungan dari para jamaah. Perasaan bahagia dikelilingi murud-murid tampak nyata dalam raut muka beliau yang bersih berseri.

Di sinilah juga beliau bisa memantau perkembangan pembangunan dan program kerja yang dilakukan oleh Yayasan Sabilillah dengan tiga bidang garapan yaitu bidang pendidikan Islam, bidang ketakmiran dan bidang peribadatan serta bidang sosial dan kemasyarakatan.

Seringkali juga beliau berpesan agar para pengurus yayasan selalu memegang 4 prinsip  kerja yaitu 1. ikhlash, 2. jujur, 3. rukun dan 4. sabar. Kata-kata ini juga sering dipesankan kepada para pengurus, guru-guru dan siapapun yang berkhidmad untuk yayasan dan lembaga pendidikan.

Kalau di setiap Rabu malam beliau mengajar kumpulan hadist tematik Al Jamius shoghir dan membahas kitab Ihya Ulumuddin di rumah beliau, di masjid ini beliau sering matur masalah-masalah yang lebih aplikatif walau juga ada sisi spiritual dan sisi falsafatinya di waktu setelah khutbah selesai.

Di pilar kiri depan itulah tempat biasanya beliau menerima pisowanan. Disinilah meeting point bagi para kader beliau atau tetamu dan bahkan jamaah umum masjid yang dilakukan setelah shalat Jum’at.

Di pilar kiri depan yang berdiameter 2 meter ini beliau duduk bersimpuh mulai jam 10.30 di setiap Jum’at sampai selesai. Untuk keperluan ini kemudian takmir masjid menyediakan sajadah khusus dan kursi roda di setiap Jum’atnya untuk kyai Tholchah. Jamaah lain biasanya maklum dan menyesuaikan diri  untuk tidak menempati posisi kyai itu.

Di pilar kiri depan masjid Sabilillah inilah beliau menerima para pengurus yayasan dan tetamu selama beberapa puluh menit, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan informal dan jamuan makan siang yang disediakan oleh LPI Sabilillah di ruang transit beliau yang disediakan secara permanen oleh Sabilillah di komples SDI Sabilillah.

Di ruangan khusus SDI Sabilillah, setelah Jumatan, biasanya kami murid-muridnya meneruskan informal meeting sambil mendengar fatwa-fatwa beliau terkait hidup dan kehidupan, terkait pengalaman hidup beliau dan juga terkait tentang cita-cita dn gagasan kemajuan dan perjuangan.

Salah satu pesan beliau yang sangat menyentuh ialah: “Kita-kita ini sebisanya bisa istiqamah dalam segala sesuatu. Dengan istiqomah, orang akan bisa mendapat karamah, tiada karamah tanpa istiqomah” begitu salah satu pesan beliau yang menyentuh. Beliau istiqamah dengan dzikir.

Kata istiqomah ini juga saya dengar langsung dari beliau menjelaskan hadist tentang tentang matinya seseorang. ”Akhir hayat seseorang itu tergantung kebiasaannya”.  Kalau orang itu pedagang dan selalu berfikir untung dan rugi dalam hampir seluruh masa sehatnya, maka akhir hayatnya akan demikian juga, ia akan menghitung keuntungan  dan kerugian saat mau mati.

KH M Tholchah Hasan selalu mewanti orang-orang yayasan Al Maarif Singosari agar orang-orang yang sedang mendapat amanah bekerjasama selalu menggunakan 4 prinsip perjuangan yaitu 1. ikhlash, 2. jujur, 3. rukun dan 4. Sabar.

Hal itu mengingat dalam organisasi besar ada beberapa perbedaan generasi dari orang yang lahir tahun 40-an sampai mereka yang lahir tahun 90-an. Ada gap alamiah dalam cara kerja, perbedaan cara berfikir juga cara pandang atas segala sesuatu.

Dengan falsafah tersebut maka keutuhan dan keberlanjutan akan bisa dipertahankan. Inilah hal yang telah dikemukakan oleh KH Muhammad Asyari, Ketua Yayasan Al maarif Singosari yang belasan tahun sebelumnya yaitu tahun 1999 dipanggil Kyai Tholchah Hasan untuk menjadi ketua yayasan Al  Maarif yang membawahi delapan unit pendidikan dasar dan menengah baik pendidikan umum maupun diniyah.

Salah satu murid ngaji beliau yang setia dan istiqomah dalam pengajian Rabu malam di rumah selama lebih dari 35 tahun ialah ustadz Masjidi AS dari pondok pesantren Bungkuk yang juga sering mendapat wejangan agar dalam hidup ini selalu berusaha untuk memegang amanah dengan sebaik baiknya, sehingga dengan demikian kita akan mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Beliau untuk istiqamah dalam kebaikan. Walau kita nggak terlalu pintar dalam bidang akademik atau tentang segala sesuatu, namun kalau ditekuni dengan sungguh-sungguh, dengan disiplin akan mendapat hadiah sangat besar dalam hidup dan kehidupan akan manfaatnya.

Pada bulan April, sebulan sebelum beliau wafat dalam pengajian Rabuan, beliau menjelaskan riwayat hadist yang mengatakan bahwa akhir hayat seseorang  dipengaruhi oleh kebiasaannya. Ini terjadi kepada al Maghfurlah Kyai Tholchah Hasan juga dimana malam sebelum beliau wafat, pukul 02.30 dinihari beliau memanggil putra menantunya dr Hardadi Airlangga untuk  bisa mempertemukan beliau dengan lima orang dari Yayasan Sabilillah dan lima orang lagi dari Yayasan Unisma.

Sekali lagi, masjid dan lembaga pendidikan, kelanjutan perjuangan dan bertemu kader adalah kunci yang menjadi kecintaan beliau yang dibawa sampai akhir hayat. Pitutur pentingnya istiqamah tersebut ternyata berlaku bagi beliau sendiri.

Salah satu kalimat thoyibah yang beliau sering dzikirkan ialah ayat Al Quran Hasbunallah Wanikmal Wakil, Nikmal Maula Wanikman Nashir Laa, Khaula Walaa Quwwata Illa Billahil Aliyil Adzim.

Kalimat inilah kalimat akhir yang mengiringi kepergian beliau. Hal ini dikemukakan oleh anggota keluarga yang mendampingi beliau saat akhir hayat. Saksi mata itu adalah ustad Anas Nursalim  yang paling akhir mendampingi Al Maghfirah di rumah sakit Syaiful Anwar Malang.

Dengan tasbih di tangan dan mimik pelan dan terus memelan, beliau menghadap Allah SWT dengan kalimat thoyyibah ini dengan tenang dan senyum. Al Fatihah (*)

Penulis: M. Mas’ud Said, Direktur Pascasarjana Unisma Malang