Tahun 2022, Tarif PPN 11 Persen, PPh Badan 22 Persen

ilustrasi pajak

Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari saat ini 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Selanjutnya naik lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. (Foto: Ilustrasi dari sqrrl.in for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Jakarta - Pemerintah bersama DPR RI menyepakati penerbitan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( UU HPP) dalam Sidang Paripurna, Kamis 07 Oktober 2021.

Dengan pengesahan UU HPP, pemerintah menetapkan kenaikan dan pemberlakuan tarif tunggal untuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Berdasarkan publikasi Kemenkeu RI, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, yaitu dari saat ini 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Selanjutnya naik lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.

Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.

Pembanding kenaikan PPN ini adalah tarif rata-rata global dan tarif PPN di negara lain. Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%.

Tarif PPN pasca kenaikan itu juga dinilai lebih rendah dari Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%).

Lebih lanjut, UU HPP juga mengatur perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN.

Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya akan diberikan fasilitas dibebaskan PPN.

Untuk Pajak Penghasilan (PPh), ada perubahan pengelompokan dan juga kenaikan tarif.

Untuk penghasilan kena pajak orang pribadi yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen, dinaikkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp50 juta. Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap.

Kenaikan batas lapisan (layer) tarif terendah ini dinilai memberikan manfaat kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.

Pemerintah juga mengubah tarif dan menambah lapisan (layer) PPh orang pribadi. Salah satunya PPh orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.

Perubahan-perubahan ini diharapkan meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan. Dan bagi orang pribadi yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar.

Undang-Undang HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.

Kenaikan PPh badan ini sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi.

Sebagai pembanding angka PPh badan adalah tarif PPh badan di negara lain. Tarif pasca kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN (22,17%). Juga lebih rendah dari rata-rata negara OECD (22,81%), negara-negara Amerika (27,16%), dan negara-negara G-20 (24,17%).

Dalam UU HPP juga terdapat ketentuan baru yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan.

Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi akan semakin memudahkan Wajib Pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Meskipun demikian, penggunaan NIK tidak berarti semua WNI wajib membayar PPh, tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak. Yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun.

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) juga diterapkan dalam UU HPP ini. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. PPS akan berlangsung pada 1 Januari-30 Juni 2022.

Undang-Undang HPP merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian reformasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini. Baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan.

Undang-Undang HPP juga akan menjadi batu pijak yang sangat penting bagi proses reformasi selanjutnya.

Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam RUU HPP diharapkan akan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan perekonomian dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (*)

Yosi Arbianto