KH M Tholchah Hasan: Harmoni antara Sufisme, Kultur Singosari dan Modernisasi

Kiai Tholchah Hasan

Kiai Tholchah Hasan pemeluk sufisme modern yang bisa bergaul dengan siapa saja sesuai kebutuhan zaman (Foto: Wahid Foundation)

BATUKITA - Kiai Tholchah Hasan mengajarkan kita untuk bisa membaca kultur yang berkembang di masyarakat dengan bijak, beliau menggunakan potensi kekuatan agama dan modernisasi secara baik dan holistik. Beliau mengajak kita untuk berfikir sistematis. Beliau bukan orang yang one sided atau hanya miring ke satu blok tertentu, beliau cukup lentur, beliau relatif memiliki track record yang bersih dan dapat diterima semua pihak, beliau bukan orang picisan yang melihat di luar keyakinan dirinya sesuatu yang salah.

Walau secara pribadi beliau adalah kyai sepuh NU yang pergaulan awalnya dekat dengan ulama tradisional keluarga pendiri dan penerus NU. Termasuk kalangan pesantren salaf dan kalangan NU kultural yang sebagian metodologi perjuangannya adalah pendekatan fiqiyah, K.H.M. Tholchah Hasan tetap empan papan. Beliau bisa bergaul dan bisa memberi warna pada banyak kalangan elit NU.

Kyai yang memiliki pendidikan pesantren era 60-an hingga 70-an tentu memiliki laku lampah tirakat yang keras dengan riyadhoh spiritual yang khusus. Sejauh ini beliau masih memegang  akhlak  sebagai kyai sepuh yang sederhana, namun beliau sangat terbuka. Tentu usia yang sepuh menambah nilai tersendiri dan kemudian mendapat kharisma keulamaan tertentu di masyarakat, beliau tak anti perubahan, bahkan berani menerobos cara berfikir orang orang yang terdidik untuk lebih maju dan lebih inovatif. Beliau pemeluk sufisme modern yang bisa bergaul dengan siapa saja sesuai kebutuhan zaman.

Sebagai  ulama beliau sangat dekat dengan jaringan kyai NU tahun 70-n dan 80-an. Seperti KH.Achmad Siddiq, KH.A. Muchith Muzadi, KH. Ali Yafie, KH A. Sahal Mahfud dan tentu KH Mustofa Bisri yang sangat alim di bidang keagamaan Islam dan organisasi kepesantrenan.

Keterlibatan beliau dalam beberapa Muktamar NU dan Munas alim Ulama yang beberapa diantaranya membahas hal-hal sangat substantif bagi kelangsungan jamiyah terbesar ini dan juga keutuhan NKRI serta harmoni antara faham keagamaan salaf dengan modernitas di satu pihak dan keberlanjutan Islam wasathiyah yang berdasar keadilan, harmoni, toleransi dan plurarisme membekali pengalaman K.H.M. Tholchah Hasan dengan lebih matang. Beliau kenyang dengan situasi konflik, tapi tak pernah terlibat konfrontasi jabatan.

Kultur dan sistem manajemen organisasi yang beliau ajarkan pada para kader adalah manajemen perubahan (management of change) dan kultur manajemen transformatif (transformative management). Di dalam banyak kesempatan yang tepat, beliau sering melontarkan pertanyaan mendasar kepada orang dekatnya.

Suatu hari selepas shalat Jum’at beliau berbicara dengan santun : “Pak Mas’ud Said, apalagi gagasan yang baru yang LAZIS rencanakan, jangan sampai tidak ada sesuatu yang baru. Itu bedah rumah Sabilillah sudah dapat berapa?, Itu masyarakat suka  dengan bedah rumah  oleh masjid kita, itu pengajian eksekutif yang menjadi tempat berkumpulnya para tokoh dan professional muslim bagus kalau diadakan lagi terus”.

Kalimat kalimat semacam itu dalam konteks yang sedikit berbeda sering dismpaikan kepada lima orang dekat yang sering mendampingi beliau saat di Malang. Saya kira sejak beliau di Kementrian Agama (Kemenag) dan saat mengemban Ketua Badan Waqaf Indonesia (BWI) dan aktif di beberapa momen penting di PBNU, hal yang sama juga sering disampaikan kepada kolega beliau di Jakarta seperti KH Abdurrahman Wahid selaku Ketua Umum PBNU 1984-1999, KH Acmad Hasyim Muzadi 1999 – 2014 , sampai kepemiminan KH Said Aqiel Siradj, 2015 – sekarang.

Beliau sering mengemukakan kekagumannya terhadap tokoh-tokoh muda saat tahun 80-an. Antara lain KH Yusuf Muhammad (Jember), KH A Wahid Zaini (Probolinggo). Di kalangan professional beliau dekat dengan Prof KH Masykuri Abdillah (UIN Jakarta), Prof Nasaruddin Umar (Ulama dan Imam Besar masjid Istiqlal), Prof Azumardi Azra (UIN Jkt), Prof. Suparta dan kolega beliau di NU seperti KH Achmad Bagdja, KH M. Cholil Nafis dan teman sejawat saat Gus Dur menjadi Presiden RI seperti Khofifah Indar Parawansa dan Prof. Mahfud MD

Sebagaimana pernah saya singgung, penampilan beliau sangat tampan dengan postur yang tinggi dan pakaian yang selalu rapi, trendi dan elegan menunjukkan kepribadian beliau yang menghormati situasi. Dalam hasanah thoriqoh hal yang demikian bisa dikategorikan faham Sadziliyah dimana dunia tak boleh mengekang kita, namun mereka harus kita kuasai untuk dimnafaatkan secara efektif untuk berdakwah di zaman yang berubah.

Dalam kehidupan sehari-hari beliau sangat sederhana. Tak terlihat harta yang melimpah atau kemewahan yang ada di rumah. Namun untuk lembaga yang beliau pimpin, maka kualitas adalah prasyarat yang harus didahulukan. Kita ini sudah terlalu lama memaknai kepemilikan lembaga dengan falsafah pokok punya seadanya, maka beginilah kita punya banyak tapi kualitas seadanya. Sekarang waktunya kita membangun lembaga yang terbaik, dan insyaallah kita bisa melaksanakannya.

Tentang kesederhanaan, Al kisah, sebelum beliau wafat beliau berpesan agar lampu masjid Sabilillah dirubah dengan bagus. Panitia mencari informasi tentang berbagai macam bahan kuningan dan berbagai model yang biasa dipakai di masjid-masjid besar di kota besar. Beliau menerima beberapa tawaran tentang kualitas lampu masjid, namun kualitas terbaik dan termewahlah yang beliau anjurkan agar rumah Allah ini lebih cantik dan bersinar lebih lebih lampu yang baik, terang dan canggih akan bisa menerangi hati para jamaah tatkala beribadah bertafakkurdan bersujud kepada Allah SWT.

Demikian juga perencanaan pembangunan di Unisma Malang, Rumah Sakit Islam Malang yang dibangun megah 9 lantai dan gedung gedung di Lembaga Pedidikan Islam Sabilillah dengan rencana pembangunan Dome Peradaban Islam dan kompleks pendidikan dasar dan menengah yang memiki kolam renang yang bersih dan berkelas olah raga nasional serta fasilitas kamar bagi siswa SMA Islamic Boarding School dengan standar hotel bintang tiga atau bintang empat.

Tentang kesederhanaan, di sekitar tahun 2016, ketika suatu hari beliau butuh uang untuk kepentingan tertentu terutama memberi beasiswa kepada anak asuh dengan jumlah yang tak begitu besar. Beliau tak segan untuk menghubungi manajemen LAZIS Sabilillah dengan menanyakan apakah Koperasi Masjid Sabilillah bisa menjadi lembaga  untuk memberi pinjaman beberapa juta dengan jangkauan pengembalian satu dua bulan. Maka diketahui bahwa agar anak asuhnya tetap sekolah beliau meminjamkannya dari koperasi masjid Sabilillah.

Secara keilmuan Al Qur’an, K.H.M. Tholchah Hasan matang dengan Ihya Ulumuddin dan Kitab Hikam. Kitab kita inilah yang beliau ajarkan ulang kepada para muridnya di rumahnya yang asri. Beliau seakan mengajarkan kesederhanaan dan kemuliaan hidup melalui kitab ini. KH M Tholchah Hasan sangat perhatian terhadap pengajaran dan ilmu Al Qur’an dan pendidikan pesantren.

Beliau sangat dekat dengan KH M Bashori Alwy sahabat sejawat pendiri Pesantren Ilmu Al Qu’ran PIQ Singosari. Pada masa akhir hayat beliau merasa sangat kasih sayang  dan saling rindu kepada shabatnya itu dengan beberapa kali bertemu khusus untuk membicarakan kondisi keummatan dan pengembangan pengajaran al Qur’an di tengah situasi modernism dan hilangnya sipitualisme di  kalangan muda pada umumnya.

Setelah lama menempuh pendidikan pesantren di Ponpes Tebuireng Jombang dan beberapa pesantren lain, saat muda beliau diambil menantu keluarga besar  Singosari yang sangat dekat dengan keluarga K. H.M Thohir Bungkuk yang saat itu menjadi tokoh terkemuka di Malang dan masih terhubung dengan KH Masjkur, tokoh ulama sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan dan tokoh dibalik suksesnya lembaga lembaga pendidikan Islam di Malang Raya.

Secara keilmuan, tokoh yang sejak kecil yatim ini mengasah keilmuannya pada lembaga pendidikan  dan fakultas umum seperti di Universitas Merdeka Malang dan di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang yang kemudian gabungan keilmuan agama klasik dan umum inilah yang ikut mengantar beliau menjadi ulama yang multi disiplin.

Banyak tokoh kita yang memiliki dasar pendidikan Islam yang kuat dari pondok pesantren salaf, namun tak semua diantara tokoh kita yang pro terhadap kemajuan teknologi dan modernisasi.
Sebagai tokoh yang lahir di daerah Tuban yang memiliki kultur pantai utara yang keras dan lama menetap di Kecamatan Singosari dimana disana ada sejarah tentang tokoh Ken Arok yang nekat dan Ken Dedes yang manjdi daya tarik sehingga menimbulkan perang dan kematian serta sosok tokoh seperti Tunggul  Ametung yang sangat dihiasi dengan kisah tragis karena mengejar harta tahta dan wanita secara berlebihan, kita bisa membayangkan betapa dalam diri K.H.M. Tholchah Hasan banyak unsur karakter perjuangan yang bisa dipilih, keras dan ambil jalan pintas, misalnya.

Alih alih menjadi orang yang keras dan oportunistis beliau adalah sosok yang tetap mempertahankan prinsip sambil memperbaiki keadaan. Perang bagi beliau bukan saling bunuh, namun saling membangkitkan, kemajuan bisa menjadi energi masyarakat sebagai unsur sosial perubah yang menguntungkan dakwah Islamiyah, mereka harus dipadukan untuk saling menghidupkan. (bersambung)

Penulis: M. Mas’ud Said, Direktur Pascasarjana Unisma Malang