Angka Kekerasan Anak Naik, PKSAI Dorong Community Parenting

ilustrasi kekerasan terhadap anak


Ilustrasi kekerasan terhadap anak  (Foto: ist for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Batu - Selama pandemi Covid-19 angka kekerasan anak masih terus meningkat. Butuh koordinasi berbagai pihak untuk bisa mencegah serta menanggani kasus yang membelit anak.

Dalam situasi pandemi ini, Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PKSAI) bisa menjadi solusi untuk menekan jumlah kekerasan anak. 

Dengan layanan terpadu, PKSAI bisa menggerakan berbagai pihak untuk berkolaborasi bersama dalam membangun fondasi pencegahan dan penanganan korban kekerasan anak. 

Salah satu bentuknya adalah, PKSAI bisa mendorong terbentuknya community parenting di setiap RT dan RW.

Secara teori, community parenting (pengasuhan anak oleh komunitas) adalah pola pengasuhan orang tua yang dipikul bersama oleh sebuah komunitas. 

Para lelaki dewasa dalam komunitas ini membuka diri untuk menjadi figur ayah. Dan para perempuan dewasa menjadi figur ibu bagi semua anak-anak dalam komunitas tersebut. 

Laki-laki dan perempuan dewasa bersama-sama menjadi figur yang menjalankan peran sebagai orang tua. 

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementrian Sosial RI Dr Kanya Eka Santi, MSW menuturkan, sepanjang pandemi Covid-19 ini jumlah kekerasan anak di Indonesia mengalami peningkatan. 

Tercatat sampai akhir Agustus 2020 saja sudah ada 12.855 kasus yang melibatkan anak.

"Jumlah serupa pada tahun lalu terjadi di bulan Desember 2019. Ini masih Agustus sudah mencapai 12.855 kasus yang melibatkan anak,” kata Kanya dalam Webinar Pengembangan PKSAI di Jawa Timur. Acara digelar oleh LPA Tulungagung bersama UNICEF, Kamis 10 September 2020.

Ia melanjutkan, kasus yang melibatkan anak itu terbagi dalam berbagai jenis. Salah satunya anak yang berhadapan dengan hukum mencapai 5.364 kasus. Lalu anak korban kejahatan seksual mencapai 2.489 kasus.

Ada juga anak korban perlakuan salah dan penelantaran yang terdapat 1.247 kasus.

"Ada juga anak terdampak Covid-19 mencapai 998, dan anak korban kekerasan fisik serta psikis mencapai 886 kasus,” ungkapnya.

Dalam situasi ini, katanya, memang dibutuhkan pelayanan terpadu dan bisa menjangkau seluruh warga. 

PKSAI bisa menjadi salah satu solusi yang bisa dihadirkan di berbagai daerah. Sehingga di pusat ada penanganan didukung upaya keras di daerah melalui PKSAI.  

"Pemberdayaan komunitas menjadi penting. Di pusat bisa terintegrasi, di daerah juga jalan dengan PKSAI,” jelasnya.

Kanya menyadari kalau butuh waktu untuk mengetuk berbagai pintu dalam membangun koordinasi antar lini. 

Persoalan anak tidak bisa dilakukan secara sektoral. Sehingga kolaborasi menjadi kunci yang bisa dilakukan bersama. 

“Ini perlu komitmen dari berbagai pemda serta kepala daerahnya. Komitmen sistem pada PKSAI tentu tak akan hanya menjadi jargon, tapi juga dilaksanakan,” ujarnya.

Kanya menambahkan, salah satu yang bisa dilakukan PKSAI adalah mendorong terbentuknya community parenting di setiap RT atau RW. Ada daerah yang punya community parenting bagus.

Komunitas pengasuhan ini punya fasilitas umum untuk pusat kegiatan sosial dan arena bermain serta belajar anak.

Setiap sore, anak-anak ini bermain bersama. Pengurus RT setempat dan warga dewasa tahu anak siapa saja yang bermain. 

Kalau sore itu seorang anak tidak ada, maka mereka bertanya kemana si anak "A" kok tidak ada. 

"Pak RT setempat hafal anak-anak kampung tersebut. Setiap sore hari, Pak RT lihat fasum itu untuk mengecek bagaimana kondisi anak-anak di kampungnya," ungkap Kanya.

Dalam kondisi masyarakat saat ini, banyak orang tua kurang peduli terhadap anak. Beragam faktor penyebabnya. Karena ekonomi, sibuk atau sebab lain.
 
Untuk itu, tetangga dan pengurus RT bisa menjadi orang tua bersama anak-anak yang kurang dipedulikan orang tua. "Itu community parenting," ungkapnya.

PKSAI Wadah Kolaborasi 


Kepala Dinas Sosial Jawa Timur Dr Alwi, M.Hum menjelaskan, data kekerasan anak memang meningkat tiap tahun. 

Peningkatan itu sebagian besar didominasi hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan seksual, pencurian, dan perkelahian.

'Situasi ini perlu layanan khusus. Terutama pendampingan kepada pelaku, korban dan sanksi. Dan semua ini butuh layanan khusus seperti PKSAI,” katanya.

Ia menambahkan, berbagai kasus yang terjadi berasal dari berbagai aspek kehidupan. Sehingga tidak ada lembaga tunggal yang memiliki mandat dalam melayani semua aspek dalam perlindungan anak.

"PKSAI membuat struktur yang lebih jelas. Karena ada sumber solusi untuk bisa berkolaborasi bersama. Baik itu dari Dinsos, PPA, Diknas, Kesra, PPT, LSM, Kemenag, LPKS dan tokoh agama dan tokoh masyarakat,” ungkapnya.

Makanya, lanjutnya, ada layanan ideal yang bisa dilakukan. Mulai dari  pencegahan seperti kampanye, kesadaran, pendidikan, mengandeng media, parenting, dan edukasi menyeluruh. 

"PKSAI juga memiliki manajemen data melalui data layanan serta integrasi pengelolaan dan pengendalian data. Peran SDM serta pekerja sosial ditunjang dengan lembaga jejaring,” jelasnya. 

Selain itu, ada juga jenis layanan terintegrasi yang memiliki upaya pencegahan dan pengurangan risiko bagi kelompok rentan. 

"PKSAI Jatim jadi barometer nasional, kita terus harus menunjukan kinerja optimal untuk mengatasi problem yang dihadapi anak-anak,” sambungnya.

Perkembangan PKSAI tiap tahun juga terus meningkat. Dimulai sejak 2005, saat ini sudah ada tujuh PKSAI yang ada di Jatim. 

Yakni di Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Kediri, Kota Pasuruan dan Kabupaten Trenggalek.  

webinar kekerasan terhadap anak

Webinar kekerasan terhadap anak  (Foto: BATUKITA.com)

Kepala Perwakilan UNICEF untuk Pulau Jawa Arie Rukmantara menuturkan, pemerintah sudah memiliki komitmen besar dalam membangun fondasi pencegahan kekerasan anak. 

PKSAI yang sudah berjalan dan sedang dirintis di berbagai kabupaten/kota di Jatim sudah menjalankan fungsinya. 

Pandemi Covid-19, katanya, juga menjadi tantangan PKSAI dalam memahami berbagai perbedaan yang terjadi dengan anak. 

Ketika awal pandemi datang,  berbagai respon begitu beragam ditunjukan para orang tua, termasuk juga sisi kepanikan.

Efek dominonya terdapat pertimbangan dari para orang tua yang tersita. Sehingga sistem pertahanan anak sempat kewalahan. 

"Nah, setelah enam bulan ini sudah mulai terstruktur. Protokol kesehatan pun harus dijaga,” jelasnya.

Arie menambahkan, upaya yang dilakukan orang tua di tiap rumah dengan berbagai sistem pencegahan. Ini memastikan nutrisi, serta imunisasi yang lengkap pada anak. 

"Parenting dan menjaga anak bersama-sama bisa menjadi solusi,” imbuhnya. 

Selama masa pandemi ini, katanya, prioritas pembangunan pun harus dilakukan secara berkelanjutan. 

Anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bisa tetap produktif. 

Mereka dikenalkan dengan teknologi yang bisa membuat berbagai project baik itu video maupun produk lainnya. 

"Termasuk memastikan gizi dan nutrisi mereka. Makanya bagi mereka yang imunisasi lengkap lebih kuat. Dan mereka yang rutin berolahraga juga bisa lebih baik dalam menjaga imunitas,” ungkapnya.


Child Protection Specialist UNICEF Indonesia Astrid Gonzaga Dionisio mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi atas pengembangan PKSAI di Jatim. 

Lima tahun lalu, pihaknya seperti mimpi bisa membangun PKSAI pertama di Kabupaten Tulungagung. 

Saat ini, kolaborasi dan komitmen dari berbagai pihak akan mempercepat pendirian PKSAI baru lainnya di Jatim. 

Sehingga komitmen itu tidak hanya Dinas Sosial, tapi juga ada DP3A Jatim, Bappeda serta berbagai universitas yang mendukung. 

"Desain layanan yang cepat, terintegrasi dan cekatan itulah yang diinginkan Presiden Joko Widodo,” katanya. (*)


Penulis: Yosi Arbianto