Jejak Arsitektur Kuno Rumah Adat Nias di Desa Tumori Gunungsitoli

rumah adat nias di tumori

Bentuk rumah adat Nias Omo Hada yang masih ada di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara. (Foto: HIDORA for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Gunungsitoli - Rumah adat Nias Omo Hada sebagai kekayaan budaya arsitektur bangunan nusantara tengah dikembangkan menjadi magnet wisata nasional dan internasional. Rumah-rumah adat terancam punah ini masih tersisa di tiga desa wilayah Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara.

Ketiga desa yang masih punya koleksi rumah adat Omo Hada adalah Desa Tumori, dengan jumlah terbanyak, 10 rumah adat. Lalu Desa Lolomoyo Tuhemberua dengan potensi sungai dan satu rumah adat. Serta Desa Gada dengan potensi batu megalith dan dua rumah adat.

Rumah adat Omo Hada yang berusia hampir seratus tahun ini punya ciri khas menarik. Jenisnya adalah rumah panggung berbentuk oval, seperti mangkuk. Bagian atapnya berbentuk trapesium dengan ditutupi atap rumbia hitam.

Bahannya sebagian besar dari kayu ulin. Bagian fondasi terdiri dari tiang kayu gelondongan yang disusun berdiri menopang bangunan rumah oval. Sebagai penguat fondasi, ada kayu yang disilangkan diantara tiang-tiang fondasi.

Kayu-kayu fondasi itu tidak dipaku melainkan dilekatkan dengan dipahat sesuai sambungan dan dipasak. Dengan fondasi bentuk ini, rumah-rumah panggung itu terbukti relatif tahan gempa. 
 
fondasi rumah ada nias
Susunan kayu fondasi rumah adat Nias Omo Hada di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara. (Foto: HIDORA for BATUKITA.com)

Sedangkan bagian atasnya tersusun dari papan-papan kayu dengan lubang-lubang jendela tanpa daun jendela. Atapnya berbentuk trapesium yang ditutup rumbia.

Inspektur Kodam I Bukit Barisan Brigjen TNI Gamal Haryo Putro mengatakan, hilang atau rusaknya rumah adat adalah sebuah kerugian yang tidak ternilai bagi bangsa Indonesia.

Rumah adat adalah salah satu identitas dan jati diri bangsa. Sebuah bangsa yang tidak beridentitas atau tidak memiliki jati diri tentu akan mudah dilemahkan.

Ketahanan bangsa bersumber dari ketahanan budaya. Maka, untuk melestarikan rumah-rumah adat yang tersisa dan mengembangkan wisata budaya di Desa Tumori, diperlukan dukungan, sinergi, dan kolaborasi yang terintegrasi antar berbagai pihak.

"Saya sangat mengapresiasi dan mendukung penuh program pengembangan wisata budaya di Desa Tumori khususnya, maupun di Gunungsitoli pada umumnya," ungkap Gamal ketika berkunjung ke Desa Tumori, Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, Nias, Sabtu pagi, 13 Februari 2021 lalu.

Tonazaro Zebua, Kepala Desa Tumori mengatakan, pada 2020, Desa Tumori telah mencanangkan program unggulan desa yaitu pengembangan Wisata Desa Budaya.

Program itu  sebagai langkah untuk melestarikan rumah adat dan seni budaya serta tradisi warisan leluhur. Sekaligus menjadi cara mengembangkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pariman Waruwu, Wakil Ketua BPD Desa Tumori menambahkan, dari sembilan desa yang berada di wilayah administratif Kecamatan Gunungsitoli Barat, desa yang memiliki jumlah rumah adat yang terbanyak adalah Desa Tumori. Yakni 10 buah. Kebetulan rumah-rumah adat ini berdekatan dan berada di satu jalan poros utama desa.

Sedangkan Ketua Lembaga Adat Desa Tumori, Sozatulo Zebua mengatakan, nama Desa Tumori berasal dari nama pohon Tumori, jenis pohon besar dan kayunya sangat kuat. Pohon itu banyak tumbuh di wilayah itu dan ditemukan oleh para pendiri desa di masa lampau. 
 
Gamal Haryo Putro
Inspektur Kodam I Bukit Barisan Brigjen TNI Gamal Haryo Putro di depan rumah adat Nias (Foto: HIDORA for BATUKITA.com)

Dulunya di Desa Tumöri terdapat 21 rumah adat Omo Hada. Namun kini tinggal tersisa 10 rumah adat.

Berkurangnya rumah adat ini disebabkan gempa Nias 2005. Lalu sebagian yang lain telah diubah menjadi rumah biasa.  Banyak pemilik rumah adat tidak sanggup lagi dalam menanggung biaya pemeliharaan.

Setiap tahunnya rumah adat harus mengganti atap yang terbuat dari rumbia daun sagu. Bila tidak diganti rumbia akan membusuk dan bocor. Biaya mengganti atap ini berkisar Rp 10-15 juta per tahun.

Arianto Zega selaku Camat Gunungsitoli Barat menerangkan, tahun 2020 Kecamatan Gunungsitoli Barat mencanangkan pengembangan wisata di 3 desa, yaitu Desa Tumori, Desa Lolomoyo Tuhemberua, serta Desa Gada.

Pihaknya bergandeng tangan dengan Perkumpulan HIDORA, konsultan perencanaan pengembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat, dari Banyuwangi, Jawa Timur. HIDORA telah berpengalaman dalam mengembangkan pariwisata berbasis desa di Jawa dan Sulawesi Selatan.

Sementara, Bachtiar Djanan, Wakil Ketua Perkumpulan HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya) menjelaskan, berdasarkan Exit Survey yang dilakukan Pemerintah RI kepada wisatawan mancanegara yang akan meninggalkan Indonesia, didapatkan data alasan kunjungan.

Data itu menyebutkan, wisatawan manca datang ke Indonesia dengan alasan 60 persen karena budaya, 35 paersen karena alam, dan 5 persen karena man made (buatan).

Sebenarnya desa-desa adalah sumber utama dari kekayaan budaya yang ada negeri ini. Tapi wisata desa bukan tujuan utama. Wisata Desa adalah media atau alat. Tujuan program pengembangan wisata desa adalah untuk melestarikan budaya, melestarikan alam dan lingkungan hidup, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 
 
Baca pula: Ini Daftar Wisata Alam Populer di Kabupaten Ngada Flores NTT

Anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara, Drs. Penyabar Nakhe, yang juga Ketua DPP HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia) Bidang Seni Budaya Pariwisata turut memberikan dukungan.

Ia mengatakan konsentrasi pariwisata di Nias kebanyakan hanya tertuju pada Nias Selatan. Sementara Gunungsitoli selama ini belum dikembangkan potensinya, hanya menjadi gerbang pintu masuk baik bagi wisatawan yang datang melalui transportasi udara maupun laut.

Padahal potensi di Gunungsitoli cukup banyak, dengan lokasi yang strategis. Misalnya Desa Tumori yang hanya berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Gunungsitoli. Atau hanya sekitar 15-20 menit dari Bandara Binaka dan Pelabuhan Laut Kota Gunungsitoli.

Maka dari itu pemerintah desa dan masyarakat di desa-desa di Gunungsitoli perlu bergerak. Tentunya dengan dukungan dari pemerintah kecamatan, pemerintah kota, pemerintah provinsi, dan dengan pendampingan dari konsultan yang telah berpengalaman mengembangkan pariwisata. (*)

Yosi Arbianto