Dedolarisasi Makin Menggelinding, Yuan Diuntungkan

dedolarisasi meninggalkan dolar AS

 Makin banyak negara-negara di dunia meninggalkan dolar AS dalam transaksi pembayaran perdagangan internasional. (Foto: Federal Reserve for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Malang - Makin banyak negara-negara di dunia meninggalkan dolar AS dalam transaksi pembayaran perdagangan internasional. 

Dimotori oleh China, Rusia, lalu menggelinding ke Brasil, India, negara-negara ASEAN, Kenya, Arab Saudi, dan UEA. Mereka kini menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan.

Salah satu pemicu meninggalkan dolar AS adalah Federal Reserve AS yang terus-menerus menaikkan suku bunga agar dolar menjadi begitu kuat. Hal itu melemahkan mata uang negara lain sehingga membuat impor menjadi lebih mahal.

Belum lagi dolar memainkan peran yang terlalu dalam di banyak negara berkembang dalam hal ekonomi dan politik.

Surat kabar Financial Times menilai ada gelombang mata uang multipolar tengah muncul ke permukaan. Negara-negara itu ingin bebas dari hegemoni dolar AS. 

China-Rusia


Melansir geopoliticaleconomy.com, ketika Presiden China Xi Jinping mengunjungi Moskow pada Maret 2023, Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan dua pertiga perdagangan bilateral kedua negara telah dilakukan dalam rubel dan renminbi.

“Penting agar mata uang nasional kita semakin banyak digunakan dalam perdagangan bilateral”, kata Putin. 

Pemimpin Rusia itu menambahkan, "Kami mendukung penggunaan yuan Tiongkok dalam transaksi antara Federasi Rusia dan mitranya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin”.

China-UEA

Hanya seminggu setelah perjalanan Xi ke Moskow, China mengumumkan untuk pertama kalinya menggunakan yuan untuk membeli gas alam cair (LNG) dari UEA.

Kesepakatan itu dinegosiasikan antara Perusahaan Minyak Lepas Pantai Nasional China milik negara, dan perusahaan Prancis TotalEnergies. Ini berarti perusahaan Eropa sekarang bersedia melakukan transaksi dalam yuan.

Transaksi ini dinilai sebagai upaya Beijing melemahkan dolar AS sebagai 'petrodolar' universal untuk perdagangan gas dan minyak di dunia.

China-Brasil

Pada 30 Maret, China dan Brasil (negara terpadat keenam di dunia) mengumumkan mereka telah mencapai kesepakatan untuk berdagang satu sama lain dalam mata uang lokal, yakni yuan dan real Brasil.

Jaringan media China CGTN melaporkan, “Kesepakatan itu memungkinkan China, pemilik ekonomi terbesar kedua di dunia, dan Brasil -ekonomi terbesar di Amerika Latin-, untuk melakukan perdagangan besar-besaran dan transaksi keuangan secara langsung. Yakni menukar yuan dengan real dan sebaliknya tanpa menggunakan dolar”.

Disebutkan bahwa China adalah mitra dagang terbesar Brasil. Pada 2022 kedua negara melakukan perdagangan senilai lebih dari 150,5 miliar dolar US.

Presiden sayap kiri Brasil, Lula da Silva bahkan menyerukan agar Amerika Latin mengembangkan mata uang baru untuk perdagangan regional, yang dia sebut Sur.

Kawasan ASEAN

Menurut situs berita ASEAN Briefing, agenda utama mereka adalah “diskusi mengurangi ketergantungan pada dolar AS, euro, yen, dan pound Inggris dan beralih ke mata uang lokal”.

ASEAN sedang mengembangkan sistem pembayaran digital lintas batas yang memungkinkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan regional. 


ASEAN Briefing mencatat bahwa Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand telah menyepakati hal ini pada November 2022.

Outlet media tersebut menambahkan bahwa bank sentral Indonesia juga berencana untuk membuat sistem pembayaran lokal.

China-Malaysia

Malaysia secara terbuka menganjurkan de-dolarisasi. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim bertemu dengan Presiden China Xi di Beijing pada 31 Maret 2023.

Kedua pemimpin membahas rencana untuk melemahkan hegemoni dolar AS dan bahkan menciptakan "Dana Moneter Asia".

Ini adalah tantangan frontal terhadap Dana Moneter Internasional (IMF) yang didominasi AS, yang muncul dari Konferensi Bretton Woods 1944 yang menetapkan dolar sebagai mata uang cadangan global.

Anwar mengusulkan Dana Moneter Asia di Forum Boao di provinsi Hainan China.

“Tidak ada alasan bagi Malaysia untuk terus bergantung pada dolar”, kata Anwar dalam komentar yang dilansir Bloomberg.

Outlet media menambahkan bahwa bank sentral Malaysia sedang mengembangkan mekanisme pembayaran sehingga negara Asia Tenggara dapat berdagang dengan China menggunakan mata uangnya sendiri, ringgit.


Rusia-India

Sekutu AS, India, ternyata juga sepaham dengan gerakan de-dolarisasi.

Reuters melaporkan bahwa produsen minyak terbesar Rusia, perusahaan milik negara Rosneft, membuat kesepakatan dengan kilang India, Indian Oil Corp, yang juga milik negara.

Mereka sepakat menggunakan patokan harga Dubai dalam penjualan minyak, berlawanan dengan patokan Brent.

Keputusan untuk meninggalkan benchmark Brent yang didominasi Eropa adalah bagian dari pergeseran penjualan minyak Rusia ke Asia.

Reuters mengutip "Kepala Eksekutif Rosneft, Igor Sechin, mengatakan pada bulan Februari harga minyak Rusia akan ditentukan di luar Eropa, karena Asia telah muncul sebagai pembeli terbesar minyak Rusia".

Arab Saudi-Kenya

Beberapa negara di benua Afrika juga memulai de-dolarisasi. Pada Maret 2023, Kenya menandatangani perjanjian dengan perusahaan milik negara di Arab Saudi dan UEA. Kenya membeli minyak secara kredit, menggunakan mata uang lokal negara tersebut, shilling.

Kenya melakukannya karena cadangan dolar negara Afrika itu menipis, akibat membayar impor yang lebih mahal.(*)

Yosi Arbianto