Alih Fungsi Lahan-Defisit Air Embrio Krisis Pangan

alih fungsi lahan

Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang tak terkendali di desa-desa menjadi salah satu penyebab penting krisis pangan di masa depan. Foto ilustrasi pembangunan perumahan di lahan sawah yang telah dikeringkan (Foto; courtesy jpp.go.id for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Malang - Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang tak terkendali di desa-desa menjadi salah satu penyebab krusial krisis pangan di masa depan.

Sekjen Kementerian PUPR RI, Ir Mohammad Zainal Fatah melihat ada makelar pencari untung (rent seeker) yang mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian makin marak.

Guru besar Sosiologi Universitas Brawijaya Prof Sanggar Kanto, MS.i punya pandangan sama. "Untuk itu, saya sarankan agar modal sosial diperkuat. Misalnya, HIPPA (himpunan petani pemakai air) perlu diperkuat melalui bounding, bridging, dan linking,” saran Prof Sanggar.

Mantan Rektor UB Prof Yogi Sugito melihat hal yang senada. "Jangan hanya ramai bicara capres dan cawapres saja. Itu hentikan alih fungsi lahan di desa-desa sekarang juga. Saya prihatin karena pemerintah daerah jalan sendiri-sendiri," ungkap Prof Yogi.

"Saya minta yang di pusat, fokus mengatasi masalah lahan marginal kritis, misalnya dengan melakukan gerakan diversifikasi pangan dan melestarikan sumber daya air di desa-desa,” saran Prof Yogi.


Topik bahasan alih fungsi lahan itu mencuat dalam Workshop bertema "Tata Kelola Irigasi bagi Penguatan Ketahanan Nasional", di Lantai 7 Gedung C FISIP UB, Kamis 19 Oktober 2023. Acara dibuka Wakil Rektor III UB Dr Setiawan Noerdajasakti SH, MH ini.

Dalam acara itu, hadir Sekjen Kementerian PUPR, Ir. Mohammad Zainal Fatah. Lalu ada Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional Kementerian Pertanian RI, Dr. Drs Nyoto Suignyo, MM.

Termasuk Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas RI, Jarot Indarto, ST, MT, M.Sc, Ph. D dan Ewin Sopian Winata, ST, MEM dari Sumber Daya Air Bappenas.

Hadir pula dua mantan rektor UB, Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito, dan Prof Dr. Ir. Moh. Bisri, MS.i. Selain itu, guru besar Sosiologi UB Prof Sanggar Kanto, MS.i juga ikut andil.

Sementara itu, guru besar Sosiologi UB Prof Sanggar juga memaparkan indeks kerawanan pangan Jawa Timur tergolong tinggi. Tingkat kerawanan pangan Jatim mencapai 13,24 persen.

Produktivitas lahan di Jatim juga rendah. Lebih besar konsumsi daripada produksinya,  yaitu mencapai 89,54 persen.

Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas RI, Jarot Indarto menawarkan beberapa model mengatasi kerawanan pangan.

Antara lain menggunakan strategi regionalisasi sistem pangan. Termasuk melakukan transformasi tata kelola irigasi, melakukan reformasi subsidi pupuk, dan membuat satu data pangan nasional.

"Ke depan subsidi pupuk menjadi prioritas bagi gapoktan, bukan untuk korporasi," katanya.

Sedangkan Prof Bisri meminta memecahkan masalah irigasi dan krisis pangan di wilayah hilir.

"Irigasi di wilayah hulu, tidak ada masalah. Di wilayah tengah, juga tidak ada masalah. Akar masalahnya justru di hilir. Saya minta kita semua fokus memecahkan masalah di hilir,” ungkap Prof Bisri.

Akar masalah irigasi di hilir, sambung Prof Bisri, antara lain terkait macetnya pelembagaan himpunan petani pengguna air.

"Pengurus HIPPA perlu disegarkan, karena mereka bertahun-tahun tidak mau diganti. Teman-teman di sosiologi, perlu membuat desain penyelesaian masalah ini.” sarannya.


Dalam diskusi itu, Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional Kementerian Pertanian RI, Dr Nyoto, Suwidnyo mengeluarkan data mengejutkan.

"Kita benar-benar mengalami krisis pangan, karena sekarang ini ada 74 kabupaten/kota atau 14 persen mengalami rawan pangan,” paparnya.

Pernyataan Nyoto tentang potensi rawan pangan diperkuat oleh Ewin Sopian Winata dari Sumber Daya Air Bappenas. "Dari 300 bendungan yang ada di negeri ini, hanya mengkover 12 persen saja di area irigasi,"

Akibatnya, terjadi defisit air. Padahal, 80 persen air irigasi tersebut untuk pertanian dalam rangka menjamin ketahanan pangan.

Dalam kondisi seperti iitu, Nyoto prihatin karena para petani tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah ini.

Sebab 16 juta petani bermodal kecil dan berpendidikan setingkat SD.

"Untuk mengatasi masalah ini, mari UB beserta seluruh pemangku kepentingan bekerjasama melakukan pendidikan, pemberdayaan, dan pendampingan kepada para petani di Indonesia," ajaknya.

Peliknya lagi, dalam situasi krisis ini, masyarakat kota terlalu konsumtif. Terlihat dari produksi 1/3 sampah perkotaan adalah sisa makanan

Di sini, terjadi kesenjangan nasional, karena jumlah konsumsi lebih banyak daripada jumlah produksi pangan. Akibat semua itu, maka terjadi kerawanan pangan.

"Untuk mengatasi itu, mari kita bergerak bersama untuk menyukseskan program Badan Pangan Nasional yaitu stop boros pangan,” tutupnya. (#)

John