Tanaman Obat Atasi Covid-19, Begini Kata Kemenkes RI

jahe atasi covid

Jahe adalah salah satu tanaman obat diyakini bisa meningkatkan imunitas tubuh melawan virus atau disebut sebagai bahan imunomodulator (Foto: courtesy getty image for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Malang - Pertahanan utama melawan virus adalah membuat tubuh sehat dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang diyakini membuat imunitas meningkat.

Jamu atau ramuan tanaman obat adalah salah satu bahan konsumsi yang diyakini bisa meningkatkan imunitas tubuh melawan virus.

Kementerian Kesehatan RI bahkan mengakui bahwa ramuan tanaman obat di Indonesia bisa menjadi imunomodulator. Yang dimaksud imunomodulator adalah zat atau senyawa yang dapat memodifikasi respons imun, menstimulasi mekanisme pertahanan alamiah dan adaptif, dan dapat berfungsi baik sebagai imunosupresan maupun imunostimulan.

Melalui rilis Jumat 25 Juni 2021 lalu, Arianti Anaya, Plt Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes menuturkan, di tengah meningkatnya kasus Covid-19 semakin banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya mengonsumsi imunomodulator. Zat imunomodulator ini diproduksi dari tanaman-tanaman obat asli Indonesia.

"Kalau pandemi ini berkepanjangan, tentu akan lebih bagus mengonsumsi obat herbal yang bahan bakunya dari dalam negeri. Semakin banyak obat modern asli Indonesia (OMAI) jenis fitofarmaka dicari masyarakat, maka suatu saat nanti kita tidak akan lagi bergantung pada obat-obatan berbahan baku impor," ujar Arianti saat menjadi pembicara Dialog Nasional bertema Kiprah 17 Tahun Obat Modern Asli Indonesia Fitofarmaka, Kamis 24 Juni 2021.


Ia menambahkan, sudah menjadi tugas Kemenkes untuk mengedukasi masyarakat dan tenaga kesehatan agar lebih yakin dan mencintai obat modern asli Indonesia produksi dalam negeri.

"Pandemi ini jadi momentum meningkatkan konsumsi obat modern asli Indonesia. Namun untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat itu butuh waktu, sehingga kami berpikir perlu regulasi yang sifatnya memaksa," katanya.

Menurut Arianti, saat ini instansinya tengah menyusun formularium khusus obat modern asli Indonesia. Sehingga nantinya obat-obatan herbal buatan dalam negeri bisa masuk dalam daftar obat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bisa diberikan kepada pasien peserta BPJS Kesehatan.

"Rencananya OMAI fitofarmaka yang sudah mendapat izin edar dari Badan POM akan masuk formularium, karena kan sudah pasti aman ya," jelasnya.

Reri Indriani, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik Badan POM mengungkapkan sejak Covid-19 mulai menyebar di Indonesia tahun lalu, permintaan OMAI fitofarmaka imunomodulator meningkat signifikan.

Hal tersebut didorong oleh keinginan masyarakat untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya terhadap serangan penyakit.

Tingginya permintaan suplemen imunitas tubuh, tak pelak membuat banyak produsen obat-obatan herbal mengajukan berkas permohonan izin untuk mengedarkan obat buatannya.

"Ada peningkatan pengajuan berkas 35-40 persen untuk OMAI ini selama pandemi. Tugas Badan POM adalah mengawalnya mulai dari uji pra klinis, uji klinis dan memastikan semua proses produksinya memenuhi standar yang berlaku. Namun, kami kemudian membuat kebijakan relaksasi untuk mempercepat waktu perizinannya sehingga bisa cepat diproduksi dan dikonsumsi masyarakat," kata Reri.

Sementara itu, WHO pada akhir 2020 lalu telah mendorong inovasi di seluruh dunia untuk penggunaan obat-obatan tradisional. Juga pengembangan terapi baru untuk mencari potensi pengobatan Covid-19.

Demikian dikatakan Vivi Setiawaty, Kepala Pusat Litbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan saat membacakan sambutan Kepala Badan Litbangkes, dr. Slamet dalam Webinar Internasional Seri Ke-4 yang digelar Kamis 22 Oktober 2020.

Topik webinar yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) tahun 2020 ini adalah Strategi Intervensi untuk Terapi Covid-19.

Dokter Slamet menyampaikan Badan Pengawas Obat dan Makanan sedang memantau 11 produk immunomodulator yang dianggap berpengaruh terhadap Covid-19. Saat ini berada pada fase uji klinik.

Diharapkan bahwa sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan dengan pengobatan tradisional.


Pada kesempatan ini, Danang Ardiyanto, peneliti Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) mengungkap, dengan memahami proses kekebalan tubuh, dapat diprediki fungsi immunomodulator dari herbal.

Agen stimulator bisa menstimulasi atau memodulasi berbagai aspek dalam sistem tubuh baik yang adaptif maupun yang innate.

Menurut Danang, banyak contoh imunomodulator dari bahan alami di Indonesia yang biasa digunakan. Hal itu telah diketahui melalui praktik yang secara turun temurun dan diwariskan setidaknya selama tiga generasi.

"Hasil Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) juga telah mencatat beberapa tanaman obat yang sering digunakan oleh suku-suku di Indonesia. Serta obat-obatan herbal yang sudah diproduksi dan disebarkan di masyarakat yang sudah memperoleh ijin distribusi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM)", tuturnya.  

Lebih lanjut dijelaskan Danang, berdasarkan laporan Ristoja ada 391 formula jamu untuk kebugaran.

Tumbuhan obat  yang bisa digunakan untuk kebugaran atau imunomodulator adalah kunyit (Curcuma longa),  jambu biji, sirih (Piper betel L),  jahe (Zingiber officinale Roscoe).

Juga ada teh jawa atau kumis kucing (Orthosiphan aristatus (Bl.) Miq), sirsak (Annona muricata L), papaya (Carica papaya), rumput merah atau alang-alang (Imperata cylindrica (L.) Raeusch) serta buah noni atau mengkudu (Morinda citrifolia L.)

Webinar ini juga menghadirkan narasumber dari Thailand, Khwanchai Visithanon. Ia adalah Assistant Director-General of Departement of Traditional and Alternative Medicine, Ministry of Public Health Kerajaaan Thailand.

Khwanchai berbagi pengalaman tentang  manajemen pengetahuan tentang pengobatan tradisional di Thailand.

Menurut Khwanchai, manajemen pengetahuan ini  dilakukan kajian literatur dengan melihat tulisan-tulisan tua atau buku-buku teks kuno.
 
Selanjutnya dilakukan autentikasi oleh panel yang terdiri dari para ahli serta melakukan wawancara dengan praktisi. Kemudian melakukan standardisasi untuk formula herbal sebagai intervensi yang memiliki kemungkinan untuk digunakan.

Khwanchai melanjutkan penjelasannya, tahapan berikutnya memulai dengan riset sesungguhnya dengan case report dan mencatat keamanan serta kejadian yang tidak diinginkan dari penggunaan obat herbal.

Setelah itu uji klinik dengan metode uji klinik acak terkendali (Randomised Controlled Trial) dan penerapan reverse pharmacology. (*)

John
 
Baca pula: