Sejarah Daerah Batu Malang (3): Religiositas Warga Batu di Masa Megalitikum

watu dakon srebet kota batu

Batu dakon di areal lahan milik almarhum Pak Kalam, Dukuh Srebet Desa Pesanggrahan Kota Batu. Lahan itu kini menjadi perumahan. (Foto: BATUKITA.com)

BATUKITA, Kota Batu - Ada tujuh jejak prasejarah Masa Batu Besar (megalitikum) di Daerah Kota Batu. Selain lumpang batu, enam artefak lainnya adalah batu dakon, punden berundak, stone ring (batu temu gelang), menhir, dolmen dan batu gores. Sebagian besar artefak itu terkait erat dengan ritus pemujaan terhadap arwah nenek moyang.

Drs Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011), mengidentifikasi batu dakon ditemukan dua buah. Yakni di Dukuh Srebet Desa Pesanggrahan Kota Batu.

Tetapi pada April 2019, BATUKITA.com mendapati batu dakon ini tinggal sebuah. Lokasinya di areal lahan milik almarhum Pak Kalam. Lahan itu kini menjadi perumahan. Letak batu dakon itu terkubur, persis di halaman depan rumah Mufidah, seorang cucu Pak Kalam.

Satu buah batu dakon lainnya sudah hancur. Warga menghancurkannya karena lokasi lahan dibangun rumah. Di dekat batu dakon yang hancur, masih ada lumpang batu. Lokasinya terkubur dan tersembunyi di belakang kandang sapi, area lahan milik almarhum Pak Giman.

Disebut sebagai batu dakon karena bentuknya sekilas mirip alat permainan dakon (congklak). Ada beberapa lubang di permukaan batu itu, seperti halnya lubang pada alat permainan dakon.

Terkait fungsi batu dakon ini, masih spekulatif. Ada yang menghubungkan fungsi batu dakon dengan aktivitas menghitung tibanya masa tanam. Termasuk untuk upacara bercocok tanam yang bermakna kesuburan. Sedangkan pendapat lainnya, batu dakon lekat dengan prosesi acara kematian. Pendapat terakhir ini merujuk Sukendar (1980).

Fungsi batu dakon sebagai alat menghitung masa tanam karena sistem bercocok tanam kala itu mengandalkan tadah hujan. Dengan lubang-lubang pada permukaan batu, petani zaman prasejarah melihat apakah sudah masuk waktu bertanam atau belum. Kemungkinan, bila air hujan memenuhi lubang-lubang itu, mereka memutuskan untuk menanam.

Logika ini mirip pengukuran seberapa banyak curah hujan yang dilakukan di era modern. Yakni menggunakan bejana berukuran 1x1 meter. Ketinggian air hujan di bejana itu diukur dalam milimeter. Karena itulah satuan curah hujan modern adalah milimeter.

Yang juga menguatkan fungsi batu dakon terkait bidang pertanian adalah lokasi penemuannya. Di Dukuh Srebet Desa Pesanggarahan, dulunya (sampai sekarang) adalah lahan pertanian. Begitu pula bila menilik lokasi penemuan batu dakon di daerah lain. Hampir semuanya ditemukan di areal persawahan. Misalnya di Kampung Muara, Bogor; Tugu Gede dan Salak Datar (Jawa Barat); Watu Kandang di Ngasinan Lor, Surakarta; Pacet, Mojokerto; dan di Pasemah, Sumatera Utara. 
 
batu watu dakon punten kota batu

Batu dakon di Dusun Gempol Desa Punten Kota Batu berada di sekitar areal perkebunan apel dan jeruk. Lokasi watu dakon ini dikenal juga sebagai punden Mbah Mangkusari (Foto: BATUKITA.com)

Artefak lain zaman prasejarah masa megalitikum adalah menhir, dolmen, punden berundak, batu temu gelang dan batu gores. Fungsi lima artefak ini terkait erat dengan ritus pemujaan terhadap arwah nenek moyang.

Menhir adalah batu yang biasanya berdiri membentuk tugu. Mehir berfungsi sebagai penanda kejadian, titik pemujaan arwah leluhur dan terkadang difungsikan dalam hubungan dengan upacara korban. Pendapat ini merujuk ke J.LA Brandes dalam Oud-Javaansche Oorkonden (1913). Di daerah Kota Batu, menhir ditemukan di Punden Oro-oro Ombo. Juga ada  menhir kecil di Desa Torongrejo, utara Gunung Wukir.

Untuk dolmen, ditemukan di Dukuh Srebet Desa Pesanggarahan. Tepatnya di lereng Gunung Panderman, sebelah barat lokasi batu dakon dan lumpang batu. Bentuknya semacam meja batu. Fungsinya untuk meletakkan persembahan kepada arwah nenek moyang.

Peninggalan artefak masa megalitikum berwujud punden berundak juga ditemukan di Kota Batu. Salah satunya di Punden Mbah Ganden (Tunggul Wulung) di Dukuh Torong Tutup Desa Torongrejo. Orientasinya ke puncak gunung tinggi yang berada di utara, yakni Gunung Arjuno.

Punden itu sebagai tempat suci untuk  pemujaan arwah nenek moyang. Oleh manusia prasejarah, Gunung Arjuno itu dianggap sebagai tempat persemayaman arwah nenek moyang. Pemujaan di punden ini, bisa jadi dimaksudkan untuk memperoleh berkah kesuburan karena lokasi punden ada di lokasi bercocok tanam.

Artefak lain yang terkait erat dengan ritus pemujaan terhadap nenek moyang adalah batu temu gelang (stone ring enclosure). Wujudnya berupa batu yang disusun membentuk bangun temu gelang. Batu temu gelang ini ditemukan di Punden Gumukan Dukuh Junwatu Desa Junrejo, Kecamatan Junrejo.

Susunan batu temu gelang ini berfungsi sebagai kuburan, tempat permusyawaratan dan tempat pemujaan. Dwi merujuknya dari R.P Soejono dalam Zaman Prasejarah, Sejarah Nasional Jilid I (1984).

Menilik adanya artefak menhir, dolmen, punden berundak, dan batu temu gelang, bisa disimpulkan pada Masa Bercocok Tanam dan Masa Perundagian, manusia prasejarah di Batu memuja arwah nenek moyang (ancestor worship).

Dengan demikian, bisa dikatakan religiositas warga daerah Batu telah terbangun semenjak lama. Setidaknya mulai zaman prasejarah Masa Bercocok Tanam atau sekitar 1500 sebelum masehi. (bersambung)

Penulis: Ardi Nugroho
Editor: Yosi Arbianto


Baca juga: