Jepang Datang ke Batu Hanya 60 Orang - Sejarah Daerah Batu (15)

tentara jepang di indonesia

Ilustrasi - Pasukan Dai Nippon berpose di atas tank dalam sebuah operasi (courtesy dainipponjepang.blogspot.com for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Batu - Daerah (Kota) Batu pada masa penjajahan Jepang menjadi lokasi penting dan strategis. Nippon menjadikan daerah Batu sebagai tempat konsolidasi, perlindungan dan lokasi penimbunan cadangan pangan serta persenjataan perang. 
 
Sarana penyimpanan dan perlindungan itu adalah gua yang kini disebut sebagai Gua Jepang.

Topografi daerah Batu yang bergunung-gunung, dipandang dari sudut kepentingan militer Jepang sangatlah menguntungkan.

Batu sebagai daerah penghubung antara kekuatan pasukan Jepang. Antara angkatan Laut Jepang untuk wilayah Malang yang bermarkas di Pujon, dengan Pangkalan Udara Jepang, di Bugis, Pakis, Kabupaten Malang. Juga antara keduanya dengan Pangkalan Angkatan Darat di Malang Kota.

Garis komunikasi antara kesatuan militer ini selalu melewati Batu. Oleh karenanya Batu merupakan garis depan dari daerah operasi berbagai kesatuan yang berada di sebelah barat, baik dari Ngantang maupun dari Pujon.

Menurut penuturan Armanu dan Fakeh (eks Laskar Hisbullah), Bala tentara Dai Nippon memasuki daerah Batu pada tahun 1942. Dan menurut Yar (eks pejuang) kedatangan Jepang tepatnya pada hari Selasa bulan Ramadhan 1942.

Sidik (eks pejuang) memaparkan, ketika Jepang masuk ke Batu, ia telah berusia 23 tahun. Saat Ramadan itu bertepatan dengan bulan Maret 1942, yaitu sekitar pukul 14:00 WIB.

Untuk sementara armada darat mereka berhenti di sebelah timur pusat wilayah Batu (kini di muka Masjid Al Taqwa).

Drs Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011) memaparkan, pasukan Dai Nippon selanjutnya bergerak menduduki Gereja Katolik (kini menjadi gereja kecil di Jalan Panglima Sudirman, sebelah timur SDK/SMPK Kota Batu).

Gereja katolik yang dahulu bernama Gereja Katolik St Simon Stock ini untuk sementara waktu dijadikan markas kempeitai (polisi militer Jepang). Nantinya gereja ini maupun Jambe Dawe (kini hotel Kartika Wijaya) dijadikan sebagai camp intenering (tahanan) bagi orang-orang Belanda yang kala itu tinggal di daerah Batu.

Sebenarnya, personil Tentara Jepang di Batu hanya sekitar 60 orang. Untuk kepentingan militer, nantinya mereka dibantu oleh Seinendan dan Keibodan yang dipersenjatai dengan senjata ringan, seperti karaben kecil dan senjata laras panjang.

Seinendan adalah korps pemuda pribumi bentukan Jepang yang dibentuk 29 April 1943. Tujuannya, mendidik dan melatih pemuda pribumi agar dapat menjaga pertahanan.

Sedangkan Keibodan adalah pemuda pribumi yang direkrut sebagai pembantu polisi. Keibodan bertugas menjaga lalu lintas dan menjaga keamanan di desa.

Sejak saat itulah, hingga Agustus 1945, masyarakat daerah Batu berada dalam cengkraman bangsa Jepang. Tentara Dai Nippon yang jumlahnya hanya sekitar 60 orang bisa menjajah karena dibantu oleh warga pribumi yang direkrut dan dibayar.

Selain itu, kedatangan mereka dicitrakan sebagai "Saudara Tua". Yakni negara yang akan bakal membantu rakyat Indonesia melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.

Pencitraan itu tergambar pada Slogan "Tiga A", yang dihembuskan, yakni sebagai pemimpin, pelindung dan cahaya Asia.

Slogan sejatinya hanya pepesan kosong ini sempat memukau dan sekaligus mengecoh sebagian bangsa bangsa di Asia.

Bukan hanya rakyat Indonesia saja yang terpukau dan terkecoh, namun juga rakyat di sejumlah sub-kawasan Asia Tenggara lainnya.

Kondisi psikopolitik yang demikian menyebabkan pada awal kedatangan Jepang di Indonesia, diimpikan bakal tampil sebagai "sang mesias (juru selamat)". Sehingga mereka diterima dengan baik. Nyaris tidak terjadi resistensi serius atas kedatangannya, sebab kehadirannya tidak dibayangkan sebagai "pendudukan" melainkan "pembebasan".

Namun Jepang tetaplah penjajah. Mereka memangsa kemerdekaan dan memangkas kesejahteraan rakyat, bahkan acap disertai dengan perlakuan yang kejam terhadap warga pribumi.

Kendati demikian, di daerah Batu tidak pernah terjadi pergolakan rakyat melawan Pemerintah Jepang. Lantaran perlakuan mereka terhadap warga pribumi tidak terlampau mencolok kekerasan dan kekejamannya.

Praktik Penjajahan Jepang

Kurang dari setahun sejak kedatangannya, para petani di daerah Batu mulai merasakan keserakahan dan kekejaman tentara Jepang dan antek-anteknya.

Hasil pertanian penduduk pribumi acap menjadi barang rampasan. Sebagian hasil sawah dan ladangnya harus diserahkan kepada pemerintah Dai Nippon.

Jika pun dilakukan pembelian, Pemerintah Pendudukan Jepang menetapkan tarif dengan harga murah, kemudian manjualnya lagi dengan harga tinggi.

Jika ada yang berani menolaknya, ganjaran tempeleng atau mengurungnya dalam penjara.

Para petani bukan dalam posisi tuan atau pemilik riil atas hasil sawah-ladangnya sendiri. Penduduk pribumi Batu yang kala itu mayoritas adalah petani, terpaksa bertindak mirip pencuri di lahannya sendiri.

Diam-diam mereka memungut hasil pertaniannya di malam hari untuk mencukupi kebutuhan keluarganya (Prana, Andrek, 1995, Batu di Masa Perjuangan: Kopeda Batu).

Pemerintah Jepang menetapkan, apabila petani hendak memanen hasilnya, sehari sebelumnya harus melapor kepada petugas Kumeai, yakni semacam lembaga koperasi. Agar keesokan harinya paegawai Kumeai datang ke lahan dimaksud, untuk membeli sebagian dari hasil panennya.

Oleh sebab itu, pemerintah Jepang memiliki daftar inventarisasi sawah dan ladang penduduk.

Hasil pertanian yang diperoleh melalui perampasan, setoran wajib atau pembelian dengan harga rendah ditimbun di dalam gua-gua buatan (arificial caves).

Gua-gua ini digali pada tebing padas secara horisontal, yang populer dengan sebutan Gua Jepang.

Jika menilik jumlah dan sebarannya, bisa dibilang bahwa di daerah Batu memiliki peninggalan Gua Jepang dalam jumlah banyak dan tersebar luas.

Kondisi geografis Batu yang bergunung-gunung dan cukup terpencil menjadikannya cocok untuk lokasi gua buatan ini.

Lembah timur Gunung Panderman dan Anjasmoro maupun lembah sisi barat Gunung Welirang layak bagi lokasi gua-gua tersebut.

Gua-gua Jepang tersebut berada di Desa Tlekung, Dukuh Sisir, Kelurahan Pesanggrahan, Songgokerto, Dukuh Jurang Kwali dan Cangar (Ds. Sumber Brantas). Termasuk di Dukuh Kletak (Kelurahan Temas).

Daerah-daerah itu terletak di bagian selatan, barat dan utara Batu. Lokasi-lokasi itu terdapat "pagar alam" yang berupa lereng gunung.

Bentuk gua relatif sama, yaitu beberapa buah lobang yang digali secara horisontal. Antara lorong satu dengan lorong-lorong lain dihubungkan di bagian ujungnya, sehingga membentuk jaringan lorong gua.

Kendati relatif sama bentuknya, namun peruntukkan khusus masing-masing komplek gua bisa saja berlainan. Yakni ada yang sebagai tempat perlindungan, tempat penimbunan hasil pertanian, penyimpanan perangkat pertanian. Atau tempat menyimpan senjata, amunisi dan kendaraan perang.

Gua-gua Jepang yang berada di Dukuh Srebet difungsikan menimbun hasil pertanian dan menyembunyikan kendaraan perang.

Kompleks gua Jepang di Tlekung untuk menyimpan peralatan pertanian.

Adapun lima buah gua yang berada di Songgokerto untuk menyimpan persenjataan perang (senjata dan amunisi).

Sedangkan gua yang ada di Jurang Kwali dan Cangar, yang jumlahnya hingga belasan buah (sekitar 17 buah) dimanfaatkan menyimpan hasil kebun maupun perlindungan.

Pertimbangan pemilihan lokasi gua di Desa Sumber Brantas dalam jumlah banyak adalah memperhitungkan fungsi tambahan daerah ini sebagai produksi tanaman jarak dan sekaligus kamp latihan militer.

Jurang Kwali hingga Cangar yang berada di lembah antara Gunung Anjasmoro dan Welirang, yang cukup jauh jaraknya dari pusat Kota Malang maupun Batu dipandang cocok untuk lokasi perlindungan perang.

Penggalian pembuatan gua dilakukan dengan sistem romusha. Yani pengerahan tenaga kerja paksa terhadap kaum pria dewasa (usia 30-45 tahun) pada proyek-proyek militer Jepang. Para romusha dihimpun dari masing-masing desa sebanyak 25 orang per desa.

Mereka bekerja secara bergilir dengan durasi kerja 1 bulan di tiap lokasi.

Untuk proyek militer Jepang di Batu pekerja tidak hanya berasal dari kawasan Malang, namun juga didatangkan dari daerah-daerah yang jauh. Misalnya seperti dari daerah Malang Selatan, Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Jember.

Siasat yang dipergunakan adalah membawa romusha dari daerah berhawa panas dibawa ke daerah dingin, begitu pula sebaliknya. Strategi itu agar mereka tidak bisa kembali ke tempat asalnya (Prana, 1995: 3: informasi Pii).

Tidak hanya itu, atas alasan kepentingan bersama "kemakmuran Asia Timur Raya", tenaga kerja dari kalangan rakyat dipekerjakan sebagai romusha dan ditempatkan di berbagai daerah di luar wilayah Batu-Malang (Nurhadi, dan Sutopo, 1997, Perjuangan Total Brigade IV pada Perang Kemerdekaan di Karesidenan Malang: IKIP Malang dan Yayasan Ex Brigade IV/Brawijaya Malang).

Misalnya, tenaga romusha dari daerah Batu dikirim ke pantai Ngliyep di Malang Selatan.

Pemerintah Jepang dan antek-anteknya telah mengeksploitasi tenaga dan harta rakyat tanpa mengenal batas.

Tiap desa di Jawa ketika itu diwajibkan menyiapkan sejumlah penduduk laki-lakinya untuk dikirim ke proyek-proyek Jepang.

Bukan hanya di Jawa dan daerah-daerah di Indonesia (Sumatra, Maluku, Irian, dsb.), melainkan hingga ke Thailand dan Burma.

Sebagian besar darinya tak kembali, lantaran mati dalam perjalanan di kapal yang penuh sesak, kelaparan, disiksa, atau memang sengaja dibunuh di sana.

Solidaritas antar sesama warga pribumi tercermin dalam bentuk pemberian pertolongan guna membebaskan dan menampung romusha yang menjadi korban kekejaman.

Para pejuang di Batu misalnya, berusaha keras membebaskan romusha di Sumber Brantas untuk diselamatkan dan ditampung di rumah kepala Desa Sisir. Mereka diberi makan oleh Nurasan, yang kala itu membuka usaha warung makan.

Tempat untuk menginteneer warga Belanda ada di beberapa tempat, antara lain di Gereja Katolik lama, Jambe Dawe, dan di suatu tanah kosong (kini SMP Katolik).

Para tawanan ini dirantai kakinya satu sama lain. Adapula beberapa orang-orang Belanda yang dimasukkan ke dalam keranjang besar dan kemudian dibuang.

Pemerintah Bala Tentara Jepang juga menanamkan rasa benci terhadap musuh-musuhnya di Perang Dunia II melalui lagu lagu wajib yang diajarkan di sekolah ataupun organisasi-organisasi kerakyatan.
 
Penduduk wajib memberi hormat setiap kali melintasi jalan yang kedapatan bendera Hinomaru. Salah satu bendera itu dipasang di Pos Jepang yang berada di Punten dan Sidomulyo.

Jarak antara bendera dan jalan besar hanya sekitar 30 meter. Sehingga penduduk yang berjalan kaki atau naik sepeda harus turun dan berhenti untuk memberi rei (hormat).

Daerah Batu tidak jauh beda dengan wilayah lain di Jawa sewaktu Pendudukan Jepang.

Kala itu berdiri berbagai organisasi, seperti kepemudaan, kewanitaan dan kemiliteran.

Tempat latihan militer yang seringkali dipakai di Batu adalah BOB, sebuah tanah lapang yang berlokasi di belakang Kantor Pemkot Batu lama, hingga lokasi Balai Kota Batu itu sendiri. Kini tanah itu sebagian milik PT Wastra Indah.

Selain itu daerah Sumber Brantas pada masa Pemerintah Milter Jepang acap pula dijadikan sebagai tempat latihan militer.

Para pejuang di daerah Batu tidak sedikit yang pernah mendapat pelatihan militer pada masa ini. Di antaranya pernah menjadi anggota Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA).

Dalam struktur kepengurusan PETA, Pulau Jawa dibagi ke dalam 66 buah Deindan. Pada wilayah Karesidenan Malang, Abdoel Manan menempati posisi sebagai Cudanco (pimpinan kompi) di wilayah Dai II Chudan.

Sementara Hamid Rusdi menjadi Cudanco  (pimpinan kompi) Dai I Chudan.

Dengan demikian, Abdoel Manan, yang dalam Perang Kemerdekaan menjadi pejuang dan sekaligus komandan Batalion 2 Resimen I Devisi VII Untung Surapati adalah alumnus PETA.

Pejuang lainnya di Batu, yakni Fakeh, yang ketika itu berusia 20 tahun menjadi warga daerah Batu yang pernah mengikuti latihan perang selama tiga bulan di Cibarusa Bogor. Yakni di Pusat Latihan Pemimpin PETA atau Boei Giyugun Kanbu Ranseitai.  (bersambung)

Ardi Nugroho
 
Baca juga: