Sejarah Daerah Batu Malang (5): Prasasti Sangguran Bukti Daerah Batu Istimewa Sejak Dulu

sangguran alias minto stone

Sketsa prasasti Sangguran dalam buku Colonel Colin Mackenzie and Javanese antiquities (met platen) karya J. Bastin (1953).

BATUKITA, Kota Batu - Aset sejarah berharga zaman Hindu-Buddha yang asli berasal dari daerah Batu adalah prasasti Sangguran. Jejak dari abad ke-10 ini sering disebut sebagai Minto Stone.  

Disebut Minto Stone karena sekitar tahun 1820-an, prasasti ini dicabut oleh Gubernur Raffles dari Ngandat Kota Batu  dan dihadiahkan kepada Lord Minto. Kala itu, Minto menjabat Gubernur Jenderal Inggris di Calcuta India.

Ngandat kini adalah sebuah dusun di Desa Mojorejo Kecamatan Junrejo.  Asal prasasti Sangguran dari Ngandat dilaporkan J. Veerbek (1887) dan juga buku karya Raffles History of Java (1817).

Pada Februari 2006, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI mengidentifikasi prasasti Sangguran ini berada di Desa Minto, Edinburgh, Skotlandia. 

Prasasti ini dimiliki Viscount Timothy Melgund,  putra sulung dari Earl of Minto VI. 

Dilansir dari detik.com, upaya membawa pulang prasasti ini gagal karena pihak keluarga Lord Minto meminta kompensasi hingga 70 ribu poundsterling.

Prasasti Sangguran bertarikh Saka 850 atau 928 Masehi. Prasasti dari daerah Batu ini dinilai sangat penting oleh budayawan dan sejarahwan nasional. 

Sebab prasasti ini adalah prasasti Mataram Kuno terakhir yang ditemukan sebelum Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Bekker (1972) mendefinisikan  prasasti sebagai pertulisan resmi, tertulis di atas batu, logam dan lontar. 

Prasasti dirumuskan menurut kaidah-kaidah tertentu, berisikan hak, anugerah yang dianugerahkan dengan dengan upacara tertentu. Sering pula disertai kutukan bagi yang melanggar titah.

Bagi Kota Batu, prasasti ini juga penting karena prasasti Sangguran menegaskan wilayah Batu dahulu sebagai wilayah istimewa. 

Yakni tempat kelompok penempa logam (kajurugusalyan) alias salah satu golongan pande. Golongan pande secara umum adalah orang-orang berilmu pengetahuan dan terampil. 

Mereka adalah golongan masyarakat khusus yang mandiri, tidak masuk dalam kelas-kelas alias kasta yang ada. Mereka juga punya tempat pemujaan sendiri.

Bahkan asumsi yang dibangun, masyarakat pande inilah yang memasok persenjataan perang dan kebutuhan bagi Mataram kuno waktu itu.

Dari asumsi pentingnya jasa para pande inilah yang membuat raja Kerajaan Mataram Kuno (Dyah Wawa) memerintahkan pemberian hadiah seperti tertulis dalam prasasti Sangguran.

Prasasti Sangguran dipahat pada sebuah balok batu (stela) dengan tinggi 160 cm, lebar 122,50 cm, tebal 32,50 cm dan berat sekitar 3,5 ton. 

Ditulis dengan aksara Jawa Kuna pada bagian depan (recto) sebanyak 38 baris, bagian belakang (verso) sebanyak 45 baris dan pada bagian samping (margin) kiri sebanyak 15 baris.

Uniknya, dua baris pertama yang merupakan bagian pembuka (manggala) ditulis dalam bahasa Sanskerta. 

Sedangkan bagian-bagian selanjutnya menggunakan bahasa Jawa Kuna. Keterangan itu ditegaskan oleh Hasan Djafar dalam Prasasti Sangguran (Minto Stone) Tahun 850 Saka, Sembilan Windu Prof.Edi Sedyawati: Pentas Ilmu di Ranah  Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia. (2010.)

Prasasti Sangguran dikeluarkan atas perintah raja Kerajaan Mataram Kuno yang keratonnya  berkedudukan di Medang-Jawa Tengah (kedatwan sri maharaja I mdang I bhumi mataram) yaitu Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayaloka Namottungga.

Isi pokoknya adalah perintah penetapan Desa Sangguran sebagai desa sima (bebas/keringanan pajak). 

Perintah Sri Maharaja Dyah Wawa diterima oleh Mahapatihnya yang bergelar Rakryan  Mahapatih I Hino Pu Sindok Sri Isnawikrama ( Mpu Sindok ) bersama dua orang samgat momahumah yang terdiri dari madander yang bernama Pu Padma dan anggehan yang  bernama Pu Kundala.

Dikutip dari rangkuman Dani Sunjana atas tulisan Hasan Djafar,  Mpu Sindok Sri Isana Wikrama meneruskan perintah Dyah Wawa dengan menetapkan Desa Sangguran (yang termasuk dalam) watak Waharu menjadi daerah perdikan (sima). 

Anugerah itu disampaikan kepada seorang punta (pimpinan keagamaan) di Mananjung, bernama Dang Acaryya.

Penetapan itu berisi perintah agar penghasilan dari daerah perdikan Sangguran tersebut digunakan untuk membiayai berbagai keperluan pemujaan kepada Bhatara yang dimuliakan di sebuah bangunan suci peribadatan (bhatara I sang hyang prasada kabhaktyan). 

Bangunan  suci itu terdapat di daerah perdikan para pande di Mananjung (sima kajurugusalyan ing mananjung). Bangunan suci itu tak lain adalah Candi Mananjung. 
 
Kedudukan daerah perdikan Sangguran dan Candi Mananjung dinyatakan tidak boleh diganggu oleh para patih, wahuta, dan mangilala drawya haji

Disebutkan pula pungutan pajak berbagai jenis usaha dan denda berbagai pelanggaran hukum, yang diperoleh dari daerah perdikan tersebut.

Ditetapkan  pula nilai batas tidak kena pajak (hinghingan kwehanya anung tan kna de sang mangilala drawya haji) dari berbagai jenis usaha dan komoditi. 

Hasil pungutan berbagai pajak dan denda tersebut kemudian dibagi tiga (tribhagan). Sebagian untuk kepentingan bhatara, sebagian untuk kepentingan pemeliharaan daerah perdikan, dan sebagian lagi untuk para mangilala drawya haji.

Bagian terakhir dalam Minto Stone ini adalah kalimat-kalimat kutukan bagi yang yang melanggar titah raja. Termasuk yang merusak kedudukan Desa Sangguran yang telah ditetapkan sebagai sima.

Kutukan dan sumpah yang dicantumkan sungguh membuat merinding. Hasan Djafar mengartikan kutukannya sebagai berikut:

...bunuhlah olehmu hyang, ia harus dibunuh, agar tidak dapat kembali di belakang, agar tidak dapat melihat ke samping, dibenturkan di depan, dari sisi kiri, pangkas mulutnya, belah kepalanya, sobek perutnya, renggut ususnya, keluarkan jeroannya, keduk hatinya, makan dagingnya, minum darahnya, lalu laksanakan. Akhirnya habiskanlah jiwanya. Jika berjalan di hutan akan dimakan harimau, akan dipatuk ular………. Begitulah matinya orang jahat, melebur kedudukan desa perdikan di Sangguran. Malapetaka dari Dewatagrasta.   

Pada upacara penetapan daerah perdikan itu Punta Mananjung memberikan hadiah dalam jumlah  banyak kepada Sri Maharaja dan Rakryan Mahapatih I Hino. Masing-masing berupa uang perak 1 kati dan sepasang wdihan tapis (semacam kain). 

Hadiah ini diberikan pula kepada para pejabat lain dari tingkat  pusat maupun daerah yang hadir dalam upacara tersebut menurut tingkat kedudukan atau  jabatannya.

Dari beberapa bagian isi prasasti itu, Drs M Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011), menilai prasasti Sangguran adalah bukti nyata. 

Bahwa pada permulaan abad ke-10, daerah Batu adalah daerah maju pada zamannya. Desa Sangguran adalah simbol sukses masa silam. Prasasti Sangguran juga bisa diposisikan sebagai "pembuka" zaman sejarah daerah Batu.

Dalam prasasti Sangguran, gambaran keistimewaan daerah Batu juga tersirat dari beragam kerajinan yang bisa dibuat masyarakat. 

Adanya karya-karya selain produksi barang dari besi itu, seperti yang disebut dalam kata-kata prasasti. Dwi menyitirnya dari Brandes (1913). 

Ada kata mabubut (membubut), magawi kisi (membuat anyaman keranjang), manganamaman (menganyam). 

Lalu manuwung (membuat canang berbentuk piala), mangkalangan (pertukangan kayu), magawai runggi rungki (membuat keranjang), payung wlu (membuat payung bundar), dan mangdyun (membuat wadah air dari tanah liat atau batu).

Juga ada kata-kata terkait kerajinan tekstil. Misalnya mangkala (mencelup kain dengan warna merah), manguwal (memintal), manula (membuat kain katun). 

Termasuk ada kata-kata pertukangan seperti maparahu (membuat perahu), matarup (membuat ruang kerja), mangapus (membuat tali).

Kata-kata yang terkait barang dagangan juga ada seperti manggula (membuat gula), malurung (membuat minyak jarak), manyawari (menjual bumbu-bumbuan).


punden mojorejo kota batu

Kondisi punden Mojorejo di Desa Mojorejo, Junrejo Kota Batu yang tinggal puing-puingnya. Sering disebut juga sebagai punden Kajang. Apakah ini candi seperti yang pernah dilaporkan dalam catatan perjalanan J.I van Sevenhoven pada 1812. . (Foto: BATUKITA.com)

Lalu dimanakah bangunan suci Candi Mananjung (prasada kabhaktyan) seperti tertulis di prasasti Sangguran? 

Apakah candi Songgoriti itu yang dimaksud? Atau ada bangunan candi lain? Misalnya di reruntuhan punden Mojorejo yang diyakini dulu sebuah candi. Pertanyaan ini yang belum terjawab hingga Mei 2019.

Namun, perkembangan terbaru pada akhir 2019, ada penemuan reruntuhan candi di Desa Pendem. Penemuan candi yang terpedam ini diasumsikan sebagai Candi Mananjung. Dengan penemuan ini, maka misteri keberadaan Candi Mananjung mulai terkuak. (bersambung)

Penulis: Ardi Nugroho
Editor: Yosi Arbianto

Baca juga: