Juragan & Saudagar Masa Kolonial-Sejarah Daerah Batu Malang (13)

hotel kartika wijaya dulu jambe dawe

Bangunan vila Jambe Dawe milik keluarga Sarkies yang sekarang menjadi El Kartika Wijaya Hotel, Jalan Panglima Sudirman 127 Kota Batu (Foto: situsbudaya.id for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Batu - Berkembangnya ekonomi di daerah (Kota) Batu akibat meluasnya areal perkebunan pascakebijakan tanam paksa, memunculkan juragan-juragan bisnis dan pertanian.

Yang pertama adalah keluarga Sarkies, pengusaha keturunan Armenia. Keluarga kaya ini pada tahun 1887 mendirikan vila peristirahatan keluarga, Jambe Dawe. 
 
Pada 1930-an, Jambe Dawe alih kepemilikan kepada Tjoa Tjwan Gie atau yang akrab disapa 'Liem', seorang pengusaha keturunan Cina-Belanda.

Mulai 1986, bangunan bergaya Indis ini berubah fungsi menjadi Hotel Kartika Wijaya (sekarang el Kartika Wijaya Hotel). Letaknya di Jalan Panglima Sudirman 127 Kota Batu.

Disadur dari beragam sumber, keluarga Sarkies ini dikenal pengusaha dan pemilik hotel di banyak lokasi, dalam negeri maupun luar negeri.

Antara lain Eastern Hotel, George Town, Penang, Malaysia. Lalu Oriental Hotel, George Town, Penang, Malaysia (sebelumnya bernama Hotel de l’Europe.).

Juga pemilik Raffles Hotel, Singapura; Eastern & Oriental Hotel; Strand Hotel, Rangoon (Yangon), Burma (Myanmar).

Termasuk pemilik Sea View Hotel, Singapura;  dan Crag Hotel, Penang Hill, Malaysia.

Di Jawa Timur, mereka memiliki Oranye Hotel (sekarang Hotel Majapahit) di Surabaya dan Hotel Niagara di Lawang. Khusus yang Hotel Niagara ini, perlu rujukan lebih lanjut.

Drs M Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011) menuliskan, saudagar lain adalah keluarga Van de Kley, yakni pemilik perkebunan luas di Junggo hingga Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji.

Menurut Mbah Djarkasi dalam Desa Kaki Langit Sumber Brantas (Sukrisman, 2014), ia pernah bekerja di perkebunan Van de Kley yang sangat luas. "Pokoknya tahun 35 (maksudnya tahun 1935) perkebunan dan peternakan sudah jadi," katanya.

Pada tahun 1935 itu, Mbah Djarkasi berusia 19 tahun. Lelaki asal Ngantang ini menuturkan, perkebunan milik Van De Klay membentang mulai dari Bon Siji hingga seputar pemandian air panas alami Cangar.

Luas perkebunan pengusaha berkebangsaan Belanda ini bisa dikatakan hampir mencakup seluruh luas Desa Sumber Brantas yang telah ditetapkan sebagai desa definitif pada 2007.

Bapak berputra 7 orang ini menegaskan ia dahulu punya mandor bernama Mat Sukur. Almarhum Mat Sukur dimakamkan di Kampung Kembangan Desa Sumber Brantas.

Pengusaha berdarah asing lainnya adalah Madame Nelly, yakni pemilik perkebunan kina di Nggabes, Junggo, Kecamatan Bumiaji  Kota Batu.

Masih disadur dari tulisan Dwi Cahyono (2011), Madame Nelly memiliki bangunan mirip gudang yang terbuat dari seng.

Warga setempat pun menamainya sebagai Brak Seng (bangunan terbuat dari seng). Lebih dari itu, belum banyak informasi yang diperoleh tentang Madame Nelly.
 
Pengusaha perkebunan kina lainnya di Junggo adalah Mr Dinger, warga Belanda. Lokasi perkebunannya di puncak utara Junggo.
 
Lalu ada nama Mr Marcap yang berkebangsaan Jerman. Ia adalah pemilik perkebunan kopi di Dusun Gerdu, Junggo.
 
Ada pula juragan bernama Mr Henrich yang berprofesi sebagai petani dan sekaligus peternak sapi di Ngaglik, Kecamatan Batu.

Ia mempunyai kandang ternak (staal) sapi berukuran luas di sebelah barat alun-alun Kota Batu sekarang. Pada tahun 1980-an, kandang ini masih ada.

Namanya lalu diabadikan menjadi nama suatu kampung di Ngaglik, yaitu "Kampung Hendrik".

Ada juga Mr Water atau "Aer", yang memiliki vila Pujon dan vila Putih di Jalan Panglima Sudirman kini.

Orang Eropa lainnya yang tinggal di Batu adalah Lether Puil yang berkebangsaan Jerman. Dia adalah pemilik Fruphus (kini Balai Desa Tulungrejo). 

Ada pula pengusaha keturunan Belanda-Cina bernama Tjoa Tjuan Gie, atau lazim disapa Liem dan dinamai juga dengan Whising.

Selain punya rumah di kampung Sawahan Kota Malang, Liem juga memiliki rumah mewah di Batu, yang dibelinya dari keluarga Sarkies pada 1930-an, yakni Jambe Dawe.

Dasar pertimbangannya untuk memiliki rumah di Batu karena dia mempunyai pabrik tenun di Batu.

Keberadaan pabrik tenun ini seolah menjadi pendahulu bagi berdirinya perusahaan tekstil di daerah Batu, yakni pabrik tekstil Wastra Indah. Pabrik tekstil Wastra Indah di Jalan Panglima Sudirman kini telah tutup dan tidak beroperasi.

Liem juga memiliki perusahaan otobus N.V. Otobus Liem. Salah satu trayek busnya adalah jalur Malang-Batu, yang khusus dinamai P.O B.O.M. (Batoe Omnibus Maatschappij).

Kala itu B.O.M. merupakan satu-satunya bus penghubung Malang-Batu, ketika jalan darat yang menghubungkan Batu-Malang masih merupakan jalan tanah.

Garasi otobusnya berada di suatu gang di Jalan Panglima Sudirman, yang hingga kini oleh warga sekitar dikenal dengan sebuatan "Gang Garasi".

Semula terminal (stanplaat) bus terletak berdampingan dengan pangkalan delman, yang mengambil tempat di mal PLaza Batu sekarang. Di situ dilengkapi dengan tempat pengisian bahan bakar kecil.

Gambaran demikian tidak banyak mengalami perubahan hingga dua atau tiga dasawarsa setelah Kemerdekaan RI.

Orang-orang Cina menjadi pedagang kelontong atau membuka toko di kawasan Pecinan Lama, yakni sekitar Alun-Alun Batu sekarang dan Jalan Gajahmada. Sebelum tahun 1982, Alun-Alun Batu adalah pasar.

Karena kawasan itu menjadi sentra perekonomian Batu pada masa lampau, bisa dipahami apabila Klenteng Kwan Im Tong ditempatkan pada ujung barat Jalan Gajah Mada sekarang.

Beberapa kali Pasar Batu (yang kini Alun Alun Batu) mengalami kebakaran. Sejak terbakar terakhir pada 1980 (versi lain 1982), Pasar Batu direlokasi ke wilayah timur, yakni di lokasi Pasar Batu sekarang, Jalan Dewi Sartika.

Selain warga Tiong Hoa, para pelaku ekonomi di Batu semenjak masa lampau adalah sejumlah kecil orang Arab, yang tinggal di sekitar Masjid Jamik dan sebelah timur Plaza Batu sekarang.

Namun demikian, di daerah Batu tak sampai muncul "Kampung Arab". Malahan kampung perantau dari pulau Madura muncul di sebelah selatan pusat kota yakni "Kampung Maduran".

Dari para juragan dan bisnisman itulah, rumah-rumah besar bergaya Indis bermunculan di Batu.

Dwi Cahyono menerangkan, persebaran bangunan Indis berada di Kecamatan Bumiaji, seperti Frupus dan Selecta. Bangunan Indis yang ada kini banyak yang telah dibongkar habis, direnovasi sebagian atau bahkan total. Ada pula yang kurang diurus oleh pemiliknya.

Beberapa yang masih terawat dan dimanfaatkan antara lain Gereja Jago di Jalan Trunojoyo, Kantor Polsek Batu di Jalan A Yani, R.S. paru-paru atau Sanatorium (RSUD Batu) dan bangunan Pegadaian di Jalan Kartini.

Termasuk juga SMP Muhammadiyah dan SNAKMA di Jalan Welirang, SDN Temas I di Jalan Pattimura, dan banyak rumah bergaya Indis yang bisa dijumpai di tepi jalan.

Ada pula beberapa rumah yang masih dihuni, termasuk omah papak, yang dijadikan villa dan hotel.

Walau bangunan Indis itu tersebar di penjuru wilayah Batu, namun lokasinya cenderung mengelompok, sehingga terkesan sebagai cluster tersendiri.

Penataan yang demikian itu dilatari oleh strategi "segregasi sosial", dengan maksud untuk memisahkan komunitas Eropa dan Timur-Asing dengan warga pribumi.

Areal permukiman mereka bersifat eksklusif, sehingga di luar komunitasnya, tak bisa orang dengan leluasa keluar masuk. Kecuali yang berprofesi sebagai bedande (pembantu rumah tangga) atau jongos. (*)

Ardi Nugroho
 
Baca juga: