Kota Batu Saksi Bisu Kerugian Perjanjian Renville - Sejarah Daerah Batu Malang (20)

garis van mook pujon

Daerah (Kota) Batu dan Pujon Jawa Timur menjadi saksi bisu kerugian besar Indonesia akibat Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Tampak tugu Garis Van Mook di Pujon yang dibangun untuk menandai bekas garis pemisahan wilayah yang dikuasai RI dan wilayah yang dikuasai Belanda berdasarkan Perjanjian Renville. (Foto: roodebrugsoerabaia com for BATUKITA.com)

BATUKITA.COM-Kota Batu - Daerah (Kota) Batu dan Pujon Jawa Timur menjadi saksi bisu kerugian besar Indonesia akibat Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Sebab, Daerah (Kota) Batu ke timur (Malang hingga Banyuwangi) menjadi kekuasaan Belanda. Sedangkan Pujon ke arah barat (hingga Yogyakarta) adalah wilayah Republik Indonesia.

Batas kekuasaan Belanda dan Republik Indonesia itu berwujud garis khayal (garis di atas peta) atau dinamai garis Van Mook (Van Mook nama Gubernur Jenderal Belanda). Belanda juga menyebutnya status quo lijn (garis kekuasaan).

Garis itu tepatnya terletak di Desa Pandesari, Pujon, yang hingga kini masih berdiri tugu batas Garis Van Mook sebagai pengingat zaman.
 
Garis khayal itu ditarik dari puncak Gunung Arjuno di utara menuju selatan hingga puncak Gunung Kawi.

Garis dari utara ke selatan itu memotong jalan raya (kini Jalan Raya Brigjen Abdul Manan Wijaya). Di tepi jalan raya itulah berdiri tugu batas Garis Van Mook.

Daerah yang bersebelahan dengan status quo lijn merupakan daerah penyangga, yang harus dikosongkan dari kekuatan militer (demilitarized zones).

Garis itu sekaligus menjadi garis demarkasi (pemisah) dari dua daerah yang berbeda penguasaannya.


Drs M Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011) menerangkan, warga desa yang melewati status quo lijn ini harus menyerahkan tanda pengenal.

Perbatasan wilayah NKRI dipertahankan oleh Batalion 2 TKR dikomandani Abdoel Manan, Polisi Keamanan (PK) Detasemen Gardjito dan Wedono Pujon R. Soentoro.

Namun, karena merupakan garis batas wilayah, maka konflik seringkali terjadi. Di tengah masa gencatan senjata, hampir setiap hari pasukan Belanda menembakkan meriam dan mortir ke daerah Pujon.

Di samping itu, secara provokatif pasukan Belanda menyerang pos-pos keamanan di statusquo lijn.

Perlu diingat, semenjak awal Agresi MIliter, 30 Juli 1947, pasukan Belanda bermarkas di Jambe Dawe (kini Hotel Kartika Wijaya) yang posisinya di Batu sebelah barat.

Dari situ, pasukan Belanda dengan leluasa menyusun dan melancarkan serangan ke daerah pengungsian (Pujon) dan posisi para pejuang.

Mortir-mortir yang mengenai daerah Ngroto, Pujon, ditembakkan dari markasnya yang berada di Jambe Dawe pada setiap hari Jumat.

Puncak pelanggaran terjadi tengah hari 7 Desember 1948. Adapun penyebabnya adalah adanya patroli Belanda berkendaraan jeep yang nyelonong masuk ke dalam wilayah RI.

Pasukan Belanda itu mendapat teguran dari agen polisi kelas II Kacung Permadi dari Detasemen Garjito yang tengah berjaga di pos statusquo lijn.

Namun terjadi perselisihan dan pertentangan. Mereka bahkan menembak mati Kacung Permadi.

Lalu datanglah bala bantuan dari pasukan pimpinan Letnan Moeljo Soewito, Pasukan Cadangan Pertahanan Wilayah Pujon pimpinan Mayor Sunandar Prijosoedarmo dan rakyat setempat.

Mereka menyerang hingga berhasil merampas jeep, senjata, dan peralatan perang lainnya. Juga menewaskan tiga tentara Belanda.

Sementara, di pihak Republik gugur Kopral Kastawi, anggota Kompi Moeljo Soewito.

Sebagai balasan atas kejadian itu, pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan aksi militer dengan menerobos status quo lijn. Dalam peristiwa itu gugurlah agen polisi kelas III Sudjadi.

Untuk mengenang peristiwa di perbatasan Pujon ini, pada lokasi pertempuran tersebut berdiri monumen perjuangan, yang lazim disebut “Monumen Jeep".

Di seberangnya dibangun monumen garis batas Van Mook, memuat tulisan "Status Quo Lijn" beserta dua anak panah yang berseberangan arah.

Sekilas Perjanjian Renville

Untuk diketahui, Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948.

Perjanjian digelar di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.

Delegasi RI dipimpin Mr Amir Sjarifuddin (politisi berhaluan kiri) dan delegasi Belanda dipimpin oleh orang Indonesia yang berpihak ke Belanda, R. Abdulkadir Widjojoatmodjo.
 
Perundingan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946.

Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

Indonesia dirugikan dalam perjanjian Renville karena hanya mendapat sepertiga Pulau Jawa (Banten, Yogyakarta dan sebagian kecil Jawa Tengah ke arah timur hingga Jawa Tmur bagian barat), Pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di Sumatera.  

Isi Perjanjian Renville secara keseluruhan adalah:
  1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
  2. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS.
  3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
  4. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya sebagian Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian Jawa Timur, dan Sumatera.
  5. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut Garis Van Mook.
  6. Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerah kekuasaan Belanda (Jawa Barat dan Jawa Timur).
  7. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.
  8. Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
  9. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.

Namun, Perjanjian Renville seperti hilang perlahan karena tetap muncul konflik antara Belanda dan laskar-laskar perjuangan.

Apalagi Belanda memulai Agresi Militer Belanda II  yang ditandai dengan pemboman lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta pada 18 Desember 1948.

Dari situ, perang gerilya laskar-laskar Indonesia melawan Belanda pun makin berkobar hingga datangnya Konferensi Meja Bundar pada 1949. (bersambung)

Yosi Arbianto

Baca juga: