Mbah Mbatu Bukan yang Pertama Sebarkan Islam - Sejarah Daerah Batu Malang (10)

makam mbah mbatu

Gerbang makam Mbah Mbatu yang ada di Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji Kata Batu (Foto: weebly  for BATUKITA.com)

BATUKITA-Kota Batu - Siapa yang pertama kali menyebarkan Islam di Kota Batu? Yang pasti orang pertama bukan tiga tokoh yang disebut Mbah Mbatu. Mbah Mbatu terdiri dari Mbah Tu alias Dewi Condro Asmoro; lalu dua pengikut Diponegoro yakni Pangeran Rohjoyo dan Abu Ghonaim (1820-an masehi).
 
Termasuk murid Abu Ghonaim bernama Bambang Selo Utomo juga bukan yang pertama.Meski hasil tradisi lisan ini banyak dirujuk dalam beberapa cerita.

Penolakan itu disebabkan pengaruh Islam masuk ke Batu sudah dimulai semenjak runtuhnya Kerajaan Sengguruh (kerajaan Hindu terakhir di Jawa Timur) pada 1.534 masehi (abad 16). Lalu diikuti dengan pendudukan Mataram Islam atas wilayah Malang Raya pada 1.614 (abad 17).

Lihat pula: Sejarah Daerah Batu Malang (9): Awal dan Corak Pengaruh Islam

Kemudian pengaruh Islam juga berasal dari pasukan Trunojoyo yang kalah dari Kompeni Belanda di Ngantang pada 1.679 (abad 17) dan syiar Islam masa pemerintahan Untung Surapati pada 1.700-an (abad 18).

Drs M Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011) menegaskan, lebih tepat bila Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo dinyatakan sebagai tokoh yang berjasa dalam syiar Islam. Ia memperkuat syiar Islam sekitar era Pangeran Diponegoro atau sekitar 1820-an.


Lokasi syiarnya di wilayah Batu Utara (Utara Brantas), termasuk di dalamnya Desa Bumiaji maupun Punten. Bahkan dari tradisi lisan yang berkembang, Mbah Batu ini punya pesantren yang relatif besar kala itu. Meski jejak pesantren tua ini hingga kini belum ditemukan.

Syiar Islam di sub-wilayah Selatan Brantas di masa-masa itu juga mashur dalam tradisi lisan masyarakat. Legenda lokal menyebut adanya sejumlah nama yang berjasa memperkuat syiar Islam di sejumlah desa.

Diasumsikan, tahunnya juga sekitar 1830-an. Diantaranya adalah: (1) Mbah Mas di Besul, (2) Mbah Macan Kopek di Sisir, (2) Mbah Bener di Temas, (4) Eyang Jugo di Junggo, (5) Mbah Masayu Sinto Mataram di Ngaglik, dan (6) Mbah Gadung Mlati di Punten.

Selain itu terdapat juga sejumlah makam Islam kuno, seperti makam Islam di Macari, Sisir dan Pesanggrahan.

Beberapa makam tua tersebut, utamanya makam tokoh legendaris di Banaran, Besul dan Ngaglik, mempunyai indikasi ditempatkan di atas atau berdampingan dengan situs yang lebih tua.

Hal itu dapat dijadikan petunjuk tentang adanya kesinambungan sakralitas di suatu tempat. Artinya, tempat yang dahulu dianggap sakral oleh pemangku budaya lama, pada pemangku budaya berikutnya tetap dipandang sakral. Sehingga harusnya ada jejak budaya yang berasal dari masa berbeda di tempat itu.

Sementara, asumsi bahwa Mbah Wastu/Mbah Tu atau Mbah Batu menjadi orang pertama yang membuka wilayah Batu (babad alas) juga tertolak. Sebab areal permukiman Batu sudah ada jauh sebelum kehadiran Dewi Condro Asmoro, Pangeran Rohjoyo dan Abu Ghonaim. Baik di Bumiaji atau di Punten. Semenjak masa prasejarah telah ada orang yang hadir, bermukim, berkegiatan dan berbudaya di Batu.

Paparan sejarah terdahulu jelas menunjukkan bahwa Batu telah menjadi daerah hunian atau tempat berlangsung aktivitas sosial-budaya sejak Masa Becocok Tanam pada Zaman Prasejarah.

Bahkan, pada masa Hindu-Buddha daerah Batu telah berkembang menjadi permukiman ramai, yang diperhitungkan oleh kerajaan Kanyuruhan, Mataram, Singhasari dan Majapahit.

Beberapa desa di daerah Batu seperti Sangguran, Batwan, dan Deseng Batu telah menyandang status "desa perdikan (sima)". Tempat dan perangkat keagamaan berlatar agama Hindu juga didapati di berbagai penjuru daerah Batu, tak terkecuali di desa-desa tetangga Bumiaji.

Oleh sebab itu, Dwi Cahyono menegaskan tak tepat bila Mbah Batu--yang hidup pada masa perkembangan Islam masa sekitar era Diponegoro-- dinyatakan sebagai "pembuka perdana (sing mbabat) Batu".


Masa hidup Mbah Batu adalah pada sekitar abad 19, atau paling tua abad 18. Demikian pula dengan Bambang Selo Utomo. Tidak tepat jika mereka dinyatakan bahwa masa hidupnya pada sekitar abad 15 (Mataram Islam). Mereka berdua hidup pada masa perkembangan Islam sekitar abad 19.

Jejak budaya pra-Islam didapati pada areal makam Mbah Batu di Dukuh Banaran. Hal ini menjadi petunjuk bahwa sebelum lokasi ini menjadi komplek makam Islam, lebih dahulu menjadi situs Hindu. 
 
Demikian halnya yang terdapat di Punten, yang kedapatan adanya watu dakon di Dusun Gempol Desa Punten, lumpang batu di Dusun Payan (Lor Dengkol).

Termasuk adanya susunan batu temugelang (enclosure) di Dukuh Krajan (punden Gadung Melati), punden berumpak di punden Mbah Gamping, batu-batu besar di punden Purwosenjoto dan mbah Gimbal, serta empat buah Lingga dan struktur bangunan berlataragama Hindu di Punden Gadung Melati.

Itu menunjukkan bahwa Punten telah menjadi hunian sejak jaman prasejarah dan berlanjut ke masa Hindu-Buddha hingga sekarang.

Jejak-jejak budaya itu berada pada sepanjang aliran Sungai Brantas yang membelah Desa Punten dan sekitar sumber air (Banyuning serta Ngesong I dan II).

Adanya jejak budaya masa Hindu-Buddha di Punten sebenarnya telah dinyatakan di dalam Layang Ronggo Sejati, bahwa di tempat padamana Bambang Selo Utomo, istri dan gurunya berhenti dan kemudian membuka areal permukiman telah terdapat reruntuhan candi.

Dari dua simpulan itu, Dwi Cahyono memandang  perlu ada pengkritisan terkait posisi Mbah Mbatu. Bahwa Mbah Batu bukan orang pertama yang mensyiarkan Islam di Batu. Juga Mbah Batu bukan orang yang pertama babad alas di Batu atau Batu wilayah Utara. (bersambung)

Penulis: Ardi Nugroho
Editor: Yosi Arbianto


Baca juga: