Awal Penjajah Kolonial Masuk Daerah Batu - Sejarah Daerah Batu Malang (11)

rssa malang tempo dulu

Loji atau benteng milik Kompeni Belanda di Klojen Lor yang kini menjadi Rumah Sakit Saiful Anwar MAlang (Foto: jawatimuran.wordpress.com for BATUKITA.com)

BATUKITA-Kota Batu - Kompeni Belanda yang mulai datang ke Nusantara pada abad ke-17 (pembentukan VOC 1.602) akhirnya memasuki daerah (Kota) Batu.

Kapan waktu tepatnya kompeni Belanda masuk ke daerah (Kota) Batu? Sementara belum ditentukan secara pasti.

Sebab sumber tekstual maupun peninggalan-peninggalan kolonial belum secara spesifik menandai awal waktu pendudukan Belanda ini. Hanya saja titik awal bisa merujuk masuknya VOC di daerah Malang.

Drs M Dwi Cahyono M.Hum dalam Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011) merujuk kepada pendudukan Kompeni (VOC) di Malang, yakni pada 1.767 (abad 18).

Ancangan waktu itu pasca Geger Suropaten (perang Suropati). Dengan awal waktu ini, logikanya Kompeni mulai masuk ke Kota Batu setelah tahun 1.767 masehi itu.

Namun, ada yang perlu dikaji lebih lanjut. Yakni serbuan Kompeni Belanda terhadap pasukan Trunojoyo di Ngantang pada 1.679 (abad ke-17). Apakah mungkin di masa ini penjajah kolonial sudah memasuki atau menduduki Batu? Mengingat Ngantang dan daerah Batu jaraknya tak begitu jauh.

Karena msih perlu kajian, sejenak sisihkan dahulu cerita Kompeni Belanda vs pasukan Trunojoyo ini.

Kembali pada 1.767, Kompeni Belanda memasuki Malang ketika masa pemerintahan Adipati Mulyokusumo. Beliau ini adalah adipati terakhir yang menjabat tanpa diangkat oleh pemerintah Kompeni Belanda.

Kala itu, Adipati Mulyokusumo turut membantu pertempuran berdarah-darah antara anak cucu Untung Surapati (Adipati Wiranegara) dengan Kompeni. Pertempuran di wilayah Malang itu juga dibantu Pangeran Singasari dan Pangeran Mas.

Kompeni berkoalisi dengan penguasa Mataram yang berambisi melakukan integrasi kekuasaan di wilayah Malang yang masuk Bang Wetan.

Untuk diketahui, wilayah Malang ini puluhan tahun bisa dikatakan mbalelo ke Mataram. Secara de yure masuk kekuasaan Mataram, namun secara de facto berjalan semi independen.

Dari beragam pertempuran itu, Kompeni di atas angin. Pusat wilayah Malang diduduki dan dibangunnya lojge (benteng) pertama oleh Kompeni Belanda. Namun secara sporadis perlawanan terus berlanjut. Setidaknya hingga empat tahun setelah itu (1767-1771).

Keturunan Surapati yang terakhir baru dapat ditangkap pada tahun 1771. Oleh sebab itu, atas dasar pertimbangan keamanan dan keselamatan orang-orang Belanda di Malang, maka hingga sekitar 50 tahun berikutnya (1767 s.d. perempat pertama abad XIX) orang-orang Belanda terpaksa tinggal di balik benteng.

Benteng ini lokasinya di seberang Utara Brantas yang kini menjadi RSUD  Syaiful Anwar. Sekarang dikenal dengan nama kampung "Klojen Lor". Unsur nama "Klojen" adalah bentukan dari “ka-loji-an", artinya tempat keberadaan loji (lodge), yang menjadi benteng pertama Belanda di Malang.

Berikutnya Belanda membangun benteng II di bagian selatan (loji kidul). Sehingga muncul sebutan yakni "Klojen Kidul" (Cahyono, 2007).

Sambil bertahan di benteng, mulailah Kompeni membentuk pemerintahan Karesidenan dan Kabupaten. Wilayah Kabupaten Malang masuk Karesidenan Pasuruan. Pembentukannya pertama kali terjadi pada era Pemerintahan Komisaris Jendral Baron Van der Capellen (1819-1824).

Saat itu, warga Belanda baru berani membangun permukiman di luar benteng setelah kondisi politik cukup aman dari kemungkinan serangan para gerilyawan pribumi. Yakni pada permulaan abad ke-19.

Permukiman di luar benteng itupun berada tidak terlampau jauh dari lokasi Loji Lor ataupun Loji Kidul. Yakni di sepanjang Celaket dan Oro-oro Dowo di bagian utara serta Taloon, Tongan, Kasin, Sawahan di bagian selatan.

Oleh karena itu bisa difahami jika bangunan-bangunan Indis di Malang pada periode awal berasal dari permulaan abad ini.

Sangatlah mungkin permukiman orang Belanda di luar Kota Malang, seperti di Lawang, Turen termasuk Batu, juga berkembang pada sekitar waktu ini. Yakni permulaan abad ke-19. (bersambung)


Penulis: Ardi Nugroho
Editor: Yosi Arbianto

Baca juga: